Ada satu jenis godaan yang mungkin jarang kita dengar, yaitu godaan rasio. Godaan ini berupa suara lembut yang mendorong kita untuk bertindak berdasarkan rasio. Padahal adakalanya Tuhan menghendaki kita untuk bertindak dengan iman, yang bisa saja bertolak belakang dengan rasio kita.
Saat kita dihadapkan pada situasi untuk bertindak dengan iman, sebenarnya itu merupakan kesempatan bagi kita untuk melihat kuasa dan mukjizat Tuhan dinyatakan dalam hidup kita.
Ketika murid-murid Yesus diminta untuk mengumpulkan makanan guna memberi makan lima ribu orang, mereka hanya mendapat lima roti dan dua ikan.
Dalam kondisi demikian, sebenarnya mereka bisa mudah tergoda untuk tidak taat dengan tidak menyerahkan makanan yang sedikit itu. Toh, mustahil sedikit makanan itu bisa mencukupi makan lima ribu orang.
Gampang sekali bagi Andreas (murid yang menerima makanan dari seorang anak kecil) untuk mengembalikan lima roti dan dua ikan itu kepada si anak dan berkata, "Nih, ambil kembali saja. Sebab tidak akan cukup untuk memberi makan orang sebanyak ini." Namun bersyukur, mereka tak tergoda untuk memakai rasio.
Tuhan yang mahakuasa, bisa bekerja dalam berbagai ketidakmungkinan. Walau ini tentu melatih iman dan percaya kita kepada-Nya. Inilah alasan mengapa terkadang Dia mengizinkan kita mengalami masalah-masalah yang sangat sulit diselesaikan oleh rasio manusia.
Mungkin saat ini kita sedang mengalami hal itu. Rasio kita sudah membisikkan kata tidak mungkin, tidak bisa, tidak sanggup, dan sebagainya.
Rasio dan iman percaya harus diterapkan dalam ketundukan pada Tuhan, sehingga tidak membatasi kuasa serta mukjizat Tuhan bekerja di dalam dan melalui hidup kita. —PK
Akal dan rasio kita begitu kecil dibandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan.
* * *
Sumber: e-RH, 5/4/2011 (diedit seperlunya)
==========
26 Desember 2012
24 Desember 2012
Usaha yang Keliru
Pernahkah Anda berandai-andai bahwa hidup Anda akan lebih baik jika hal-hal tertentu Anda miliki?
“Andai aku memiliki pekerjaan tertentu ... andai aku punya banyak uang ... andai aku menemukan orang yang tepat ... andai aku dikaruniai tubuh yang indah ... andai jabatanku naik ...”
Ini adalah pergumulan semua orang. Kita berusaha mencari sesuatu yang akan menyempurnakan hidup kita, yang akan membebaskan kita dari segala belitan masalah.
Bagaimana kita menanggapi firman Tuhan yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang kita perlukan untuk hidup ini sudah dikaruniakan kepada kita?
Mungkin itu membuat kita bertanya-tanya, “Tuhan, aku sudah lama mengikut-Mu, mengapa aku merasa hidupku masih begini-begini saja?”
Masalahnya mungkin terletak pada definisi kita tentang hidup. Firman Tuhan menjelaskan bahwa hidup yang berhasil itu tidak ada hubungannya dengan tren dunia, tetapi bagaimana kita dibentuk makin serupa dengan kodrat ilahi.
Keberhasilan adalah makin siap menjadi warga kerajaan kekal dari Tuhan sendiri. Dan oleh kasih karunia Tuhan, semua yang kita butuhkan untuk itu telah disediakan. Seharusnya kita mengejar hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup ini.
Mungkinkah selama ini kita mencari kebahagiaan di tempat yang keliru? Kita mencarinya dalam pekerjaan kita, dalam diri pasangan kita, atau sosok pemimpin kita, dalam kepemilikan harta benda kita, dalam pencapaian, bahkan dalam kecanduan kita.
Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup yang berhasil (sesuai definisi ‘keberhasilan’ di atas) telah disediakan oleh Tuhan. Sudahkah Anda datang kepada-Nya? —JOE
* * *
Sumber: e-RH, 24/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
“Andai aku memiliki pekerjaan tertentu ... andai aku punya banyak uang ... andai aku menemukan orang yang tepat ... andai aku dikaruniai tubuh yang indah ... andai jabatanku naik ...”
Ini adalah pergumulan semua orang. Kita berusaha mencari sesuatu yang akan menyempurnakan hidup kita, yang akan membebaskan kita dari segala belitan masalah.
Bagaimana kita menanggapi firman Tuhan yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang kita perlukan untuk hidup ini sudah dikaruniakan kepada kita?
Mungkin itu membuat kita bertanya-tanya, “Tuhan, aku sudah lama mengikut-Mu, mengapa aku merasa hidupku masih begini-begini saja?”
Masalahnya mungkin terletak pada definisi kita tentang hidup. Firman Tuhan menjelaskan bahwa hidup yang berhasil itu tidak ada hubungannya dengan tren dunia, tetapi bagaimana kita dibentuk makin serupa dengan kodrat ilahi.
Keberhasilan adalah makin siap menjadi warga kerajaan kekal dari Tuhan sendiri. Dan oleh kasih karunia Tuhan, semua yang kita butuhkan untuk itu telah disediakan. Seharusnya kita mengejar hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup ini.
Mungkinkah selama ini kita mencari kebahagiaan di tempat yang keliru? Kita mencarinya dalam pekerjaan kita, dalam diri pasangan kita, atau sosok pemimpin kita, dalam kepemilikan harta benda kita, dalam pencapaian, bahkan dalam kecanduan kita.
Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup yang berhasil (sesuai definisi ‘keberhasilan’ di atas) telah disediakan oleh Tuhan. Sudahkah Anda datang kepada-Nya? —JOE
* * *
Sumber: e-RH, 24/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
23 Desember 2012
Rahasia Selalu Bersukacita
Seseorang diberi dua kotak oleh Tuhan, yang satu berwarna hitam dan satunya lagi berwarna emas. Ke dalam kotak hitam, Tuhan memintanya untuk memasukkan segala kesedihan dan masalahnya. Sedangkan segala sukacita dan pengalaman menyenangkan dimasukkan ke kotak emas.
Setelah sekian waktu, ia heran. Kotak emasnya bertambah berat, sementara kotak hitamnya tetap saja ringan. Penasaran, orang itu membuka kotak hitamnya. Ternyata ada lubang di dasar kotak itu, sehingga setiap hal yang ia masukkan tak tersimpan.
Ketika ia menanyakannya kepada Tuhan, Dia menjawab, "Agar kau selalu menghitung berkatmu, dan melupakan segala kepedihanmu."
Hati dan perasaan kita bisa diguncang oleh berbagai emosi dalam hari-hari yang kita jalani: susah, cemas, takut; sebab banyak persoalan menimpa kita secara pribadi.
Akan tetapi, firman Tuhan meminta kita agar selalu bersukacita. Bagaimana bisa? Kuncinya: bersukacita di dalam Tuhan.
Apa yang kita rasakan tidak selalu hal yang mendatangkan sukacita, tetapi Tuhan meminta kita agar memilih sikap tetap bersukacita, dengan menghitung berkat-berkat yang kita terima. Dia telah memberi kita begitu banyak kemurahan – tidak saja untuk hidup di dunia, tetapi juga sampai kekekalan.
Kita juga dapat meraih sukacita di dalam Tuhan dengan berbuat kebaikan, sebab dengan memberkati orang lain, kita jadi sadar bahwa kita punya berkat lebih.
Pula dengan tidak khawatir, sebab semua yang kita perlu pun, boleh kita minta kepada Tuhan.
Kiranya damai sejahtera dari Tuhan yang melampaui akal dan melampaui segala emosi yang bisa menyerang, memampukan kita untuk tetap bersukacita. —AW
Tuhan memampukan kita menang atas kesusahan melalui penyertaan-Nya yang tiada berkesudahan.
* * *
Sumber: e-RH, 29/3/2011 (diedit seperlunya)
Judul asli: Bersukacita Selalu
==========
Setelah sekian waktu, ia heran. Kotak emasnya bertambah berat, sementara kotak hitamnya tetap saja ringan. Penasaran, orang itu membuka kotak hitamnya. Ternyata ada lubang di dasar kotak itu, sehingga setiap hal yang ia masukkan tak tersimpan.
Ketika ia menanyakannya kepada Tuhan, Dia menjawab, "Agar kau selalu menghitung berkatmu, dan melupakan segala kepedihanmu."
Hati dan perasaan kita bisa diguncang oleh berbagai emosi dalam hari-hari yang kita jalani: susah, cemas, takut; sebab banyak persoalan menimpa kita secara pribadi.
Akan tetapi, firman Tuhan meminta kita agar selalu bersukacita. Bagaimana bisa? Kuncinya: bersukacita di dalam Tuhan.
Apa yang kita rasakan tidak selalu hal yang mendatangkan sukacita, tetapi Tuhan meminta kita agar memilih sikap tetap bersukacita, dengan menghitung berkat-berkat yang kita terima. Dia telah memberi kita begitu banyak kemurahan – tidak saja untuk hidup di dunia, tetapi juga sampai kekekalan.
Kita juga dapat meraih sukacita di dalam Tuhan dengan berbuat kebaikan, sebab dengan memberkati orang lain, kita jadi sadar bahwa kita punya berkat lebih.
Pula dengan tidak khawatir, sebab semua yang kita perlu pun, boleh kita minta kepada Tuhan.
Kiranya damai sejahtera dari Tuhan yang melampaui akal dan melampaui segala emosi yang bisa menyerang, memampukan kita untuk tetap bersukacita. —AW
Tuhan memampukan kita menang atas kesusahan melalui penyertaan-Nya yang tiada berkesudahan.
* * *
Sumber: e-RH, 29/3/2011 (diedit seperlunya)
Judul asli: Bersukacita Selalu
==========
21 Desember 2012
Ramalan Hari Kiamat
Dikisahkan, suatu hari pada tahun 1780, kegelapan misterius menyelimuti negara bagian Connecticut, Amerika Serikat. Semua orang berpikir bahwa hari kiamat telah tiba.
Saat itu sedang berlangsung rapat Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam kegelapan, suara para anggota dewan terdengar meminta penangguhan sidang, agar mereka bisa pulang dan menunggu datangnya kiamat bersama keluarga mereka.
Tetapi, ketua dewan, Kolonel Abraham Davenport, memberikan sebuah pidato singkat, katanya: “Entah sekarang ini adalah hari kiamat atau tidak. Jika tidak, kita tidak perlu menunda sidang ini. Tetapi, jika ini adalah hari kiamat, aku lebih suka didapati sedang melaksanakan tugasku. Jadi, aku minta agar lilin dipasang.”
Ramalan tentang hari kiamat telah lama ada, dan sampai saat ini ramalan itu tidak pernah terbukti. Yang paling heboh adalah ramalan kiamat yang konon akan terjadi pada hari ini, 21 Desember 2012.
Dipicu oleh kalender hitungan panjang suku Maya, lalu diikuti oleh sejumlah ramalan lain. Ada pula yang mengartikan sebagai akan jatuhnya planet X atau planet Nibiru, menghantam planet Bumi kita yang akan meninggalkan kerusakan mahadahsyat.
Menarik apa yang dilakukan oleh Kolonel Davenport. Ia tetap bekerja. “Berbahagialah hamba yang setia dan bijaksana, yang didapati tuannya sedang melakukan tugasnya, ketika tuannya datang.” —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 21/12/2012 (dipersingkat)
Judul asli: Siap untuk Hari Tuhan
==========
Saat itu sedang berlangsung rapat Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam kegelapan, suara para anggota dewan terdengar meminta penangguhan sidang, agar mereka bisa pulang dan menunggu datangnya kiamat bersama keluarga mereka.
Tetapi, ketua dewan, Kolonel Abraham Davenport, memberikan sebuah pidato singkat, katanya: “Entah sekarang ini adalah hari kiamat atau tidak. Jika tidak, kita tidak perlu menunda sidang ini. Tetapi, jika ini adalah hari kiamat, aku lebih suka didapati sedang melaksanakan tugasku. Jadi, aku minta agar lilin dipasang.”
Ramalan tentang hari kiamat telah lama ada, dan sampai saat ini ramalan itu tidak pernah terbukti. Yang paling heboh adalah ramalan kiamat yang konon akan terjadi pada hari ini, 21 Desember 2012.
Dipicu oleh kalender hitungan panjang suku Maya, lalu diikuti oleh sejumlah ramalan lain. Ada pula yang mengartikan sebagai akan jatuhnya planet X atau planet Nibiru, menghantam planet Bumi kita yang akan meninggalkan kerusakan mahadahsyat.
Menarik apa yang dilakukan oleh Kolonel Davenport. Ia tetap bekerja. “Berbahagialah hamba yang setia dan bijaksana, yang didapati tuannya sedang melakukan tugasnya, ketika tuannya datang.” —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 21/12/2012 (dipersingkat)
Judul asli: Siap untuk Hari Tuhan
==========
19 Desember 2012
Pintar tetapi Tidak Berhikmat
Pria Rusia yang satu ini mengerikan sekali. Anatoly Moskvina, berusia 45 tahun, adalah kolektor 29 mayat yang sudah dibuat mumi dan diberi pakaian layaknya boneka beruang Teddy Bear di apartemennya, di kota sungai Volga.
Ia menggali mayat itu dari beberapa kuburan. Mayat yang dicari berjenis kelamin perempuan, berusia 15-26 tahun. Apakah Anatoly termasuk orang yang sakit jiwa?
Sisi lain kehidupannya, ternyata dia adalah seorang ahli sejarah yang menguasai 13 bahasa asing. Apa komentar Anda?
Kepandaian bahkan kegeniusan seseorang tidak menjamin bahwa orang itu berkepribadian utuh dan sempurna. Apa yang membuat orang tidak berkepribadian utuh?
Manusia diberi akal budi, namun bukan untuk meniadakan Tuhan. Gunung dibongkar, dibuat terowongan, dan mata manusia tertuju pada benda yang berharga (tambang emas). Inilah pintarnya manusia berhadapan dengan alam dengan tangannya yang lemah.
Pada zaman ini makin banyak orang yang tergolong ahli, profesional, genius, tetapi ada di antaranya yang tidak bisa lagi melihat kebesaran Tuhan. Hati-hati dengan generasi anak-anak Anda di zaman yang serba canggih ini. Apakah Anda sudah menyediakan porsi rohani yang seimbang dengan hal-hal yang lain?
Penemuan hebat bukan karena hebatnya manusia. Kalau air bisa dibendung (bendungan), barang yang tersembunyi bisa diangkat keluar (tambang bawah tanah). Benarkah semua itu karena kepandaian manusia semata?
Tuhan mempunyai maksud memberi akal budi sehingga manusia bisa melakukannya. Tetapi yang hebat adalah Tuhan yang hingga zaman ini masih terus memakai manusia untuk melaksanakan karya-Nya yang spektakuler.
Carilah hikmat Tuhan lebih daripada kepandaian. Anatoly, kolektor mayat itu tergolong genius, tetapi bisa jadi dia tidak memiliki hikmat dari Tuhan. Buktinya, mayat dikoleksi dan menganggap biasa hidup dengan barang-barang yang tidak lazim itu di tiga apartemennya.
Hanya hikmat Tuhan yang membuat orang menjadi seimbang dalam inteligensi dan spiritualitas kehidupannya. Buanglah sisi kehidupan yang aneh bila ada dalam hidup Anda. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.
Mengoleksi sesuatu yang tidak lazim dalam hidup ini, menandakan ada sisi lain yang kosong namun kita biarkan.
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 19/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Pintar, tetapi...
==========
Ia menggali mayat itu dari beberapa kuburan. Mayat yang dicari berjenis kelamin perempuan, berusia 15-26 tahun. Apakah Anatoly termasuk orang yang sakit jiwa?
boneka mumi |
Sisi lain kehidupannya, ternyata dia adalah seorang ahli sejarah yang menguasai 13 bahasa asing. Apa komentar Anda?
Kepandaian bahkan kegeniusan seseorang tidak menjamin bahwa orang itu berkepribadian utuh dan sempurna. Apa yang membuat orang tidak berkepribadian utuh?
Manusia diberi akal budi, namun bukan untuk meniadakan Tuhan. Gunung dibongkar, dibuat terowongan, dan mata manusia tertuju pada benda yang berharga (tambang emas). Inilah pintarnya manusia berhadapan dengan alam dengan tangannya yang lemah.
Pada zaman ini makin banyak orang yang tergolong ahli, profesional, genius, tetapi ada di antaranya yang tidak bisa lagi melihat kebesaran Tuhan. Hati-hati dengan generasi anak-anak Anda di zaman yang serba canggih ini. Apakah Anda sudah menyediakan porsi rohani yang seimbang dengan hal-hal yang lain?
Penemuan hebat bukan karena hebatnya manusia. Kalau air bisa dibendung (bendungan), barang yang tersembunyi bisa diangkat keluar (tambang bawah tanah). Benarkah semua itu karena kepandaian manusia semata?
Tuhan mempunyai maksud memberi akal budi sehingga manusia bisa melakukannya. Tetapi yang hebat adalah Tuhan yang hingga zaman ini masih terus memakai manusia untuk melaksanakan karya-Nya yang spektakuler.
Carilah hikmat Tuhan lebih daripada kepandaian. Anatoly, kolektor mayat itu tergolong genius, tetapi bisa jadi dia tidak memiliki hikmat dari Tuhan. Buktinya, mayat dikoleksi dan menganggap biasa hidup dengan barang-barang yang tidak lazim itu di tiga apartemennya.
Hanya hikmat Tuhan yang membuat orang menjadi seimbang dalam inteligensi dan spiritualitas kehidupannya. Buanglah sisi kehidupan yang aneh bila ada dalam hidup Anda. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.
Mengoleksi sesuatu yang tidak lazim dalam hidup ini, menandakan ada sisi lain yang kosong namun kita biarkan.
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 19/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Pintar, tetapi...
==========
14 Desember 2012
Dunia Bukan Rumah Kita
Seorang duta besar diutus ke sebuah negara yang sangat berbeda dari negara asalnya. Berbulan-bulan lamanya ia harus beradaptasi dengan bahasa dan budaya setempat.
Namun, bayangkan jika ia menjadi begitu terpikat dengan nilai-nilai dan tradisi negara tersebut. Lalu ia mulai menganggap negara itu sebagai negaranya sendiri.
Apakah ia masih dapat menjalankan tugasnya sebagai duta besar sebagaimana mestinya? Bisa jadi ia tidak lagi objektif dan tak lagi berpihak pada kebijakan negara asalnya.
Bahaya yang sama bisa terjadi pada orang-orang percaya. Karena tinggal di dalam dunia, hati kita bisa begitu melekat pada berbagai hal di dalamnya.
Di sini kita tidak sedang menuding suatu gaya hidup tertentu, penampilan tertentu, atau kepemilikan harta dalam jumlah tertentu.
Kita sedang berbicara tentang kondisi hati saat umat Tuhan menanggapi apa yang ada di sekitarnya. Kondisi hati yang menganggap bahwa apa yang ditawarkan dunia jauh lebih baik daripada apa yang ditawarkan oleh Tuhan. Anggapan yang keliru!
Dunia yang hanya sekelumit dari ciptaan Tuhan, tidak akan bertahan. Apa yang disediakan Sang Pencipta bagi masa depan umat-Nya jelas jauh lebih baik dan terjamin. Dunia ini bukanlah rumah kita.
Tidak ada salahnya menikmati hal-hal baik yang Tuhan sediakan selama kita hidup di dunia. Namun, entah itu musik, film, teknologi, pakaian, jabatan, atau yang lain, ketika itu mulai menjadi tuntutan hidup, dan kebahagiaan kita bergantung pada terpenuhinya tuntutan tersebut, waspadalah!
Itu berarti kita sedang mengasihi dunia lebih dari Tuhan, dan kita pasti akan kehilangan hal-hal terbaik dari-Nya. —ITA
Kita tidak diutus ke tengah dunia untuk menyerupai dunia, tetapi untuk menunjukkan bahwa Tuhan lebih berharga dari semuanya itu.
* * *
Sumber: e-RH, 14/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
Namun, bayangkan jika ia menjadi begitu terpikat dengan nilai-nilai dan tradisi negara tersebut. Lalu ia mulai menganggap negara itu sebagai negaranya sendiri.
Apakah ia masih dapat menjalankan tugasnya sebagai duta besar sebagaimana mestinya? Bisa jadi ia tidak lagi objektif dan tak lagi berpihak pada kebijakan negara asalnya.
Bahaya yang sama bisa terjadi pada orang-orang percaya. Karena tinggal di dalam dunia, hati kita bisa begitu melekat pada berbagai hal di dalamnya.
Di sini kita tidak sedang menuding suatu gaya hidup tertentu, penampilan tertentu, atau kepemilikan harta dalam jumlah tertentu.
Kita sedang berbicara tentang kondisi hati saat umat Tuhan menanggapi apa yang ada di sekitarnya. Kondisi hati yang menganggap bahwa apa yang ditawarkan dunia jauh lebih baik daripada apa yang ditawarkan oleh Tuhan. Anggapan yang keliru!
Dunia yang hanya sekelumit dari ciptaan Tuhan, tidak akan bertahan. Apa yang disediakan Sang Pencipta bagi masa depan umat-Nya jelas jauh lebih baik dan terjamin. Dunia ini bukanlah rumah kita.
Tidak ada salahnya menikmati hal-hal baik yang Tuhan sediakan selama kita hidup di dunia. Namun, entah itu musik, film, teknologi, pakaian, jabatan, atau yang lain, ketika itu mulai menjadi tuntutan hidup, dan kebahagiaan kita bergantung pada terpenuhinya tuntutan tersebut, waspadalah!
Itu berarti kita sedang mengasihi dunia lebih dari Tuhan, dan kita pasti akan kehilangan hal-hal terbaik dari-Nya. —ITA
Kita tidak diutus ke tengah dunia untuk menyerupai dunia, tetapi untuk menunjukkan bahwa Tuhan lebih berharga dari semuanya itu.
* * *
Sumber: e-RH, 14/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
13 Desember 2012
Mengukur Kefasikan
Siapa sih orang fasik itu? Pertanyaan menarik itu terlontar dalam sebuah pertemuan di kantor. Apakah orang fasik sama dengan orang yang tidak percaya Tuhan? Apakah orang fasik identik dengan orang jahat? Apakah ada orang beragama yang bisa disebut fasik?
Pada dasarnya orang fasik adalah orang yang congkak, merasa ia tahu apa yang baik. Hukum-hukum Tuhan tidak relevan baginya. Ia melakukan segala sesuatu sesuai dorongan hatinya, tanpa berpikir tentang apa yang menjadi kehendak Tuhan, apa yang memuliakan Tuhan, bagaimana ia harus bergantung kepada Tuhan.
Ia bukan orang yang ateis, tetapi ia hidup seolah-olah Tuhan tidak ada, tidak melihat, dan tidak akan menuntut pertanggungjawaban atas hidupnya. Dalam bagian-bagian tertentu di Kitab Suci kita bisa melihat bahwa para pemimpin rohani pun bisa terjebak dalam dosa kefasikan.
Seberapa sering kita berpikir tentang Tuhan dan kehendak-Nya dalam menjalani hidup? Kita bisa beribadah beberapa jam lalu melanjutkan hidup seolah-olah Dia tidak melihat. Kita bisa melakukan banyak hal yang baik tanpa memikirkan Tuhan sama sekali.
Kita jarang berpikir tentang tanggung jawab kita kepada Pencipta kita dalam bekerja. Kita merasa cukup baik karena tidak melakukan dosa-dosa besar. Kita tidak tertarik membangun relasi yang intim dengan Tuhan.
Dalam derajat tertentu, kita pun bisa berlaku fasik, sehingga pola pikir dan perilaku kita tidak banyak berbeda dengan orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Kefasikan memberi ruang bagi dosa-dosa lain untuk bertumbuh. Waspadalah! —ELS
Hindarkan diri dari kefasikan dengan menyadari bahwa Tuhan hadir dan terlibat dalam hidup kita setiap hari.
* * *
Sumber: e-RH, 13/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
Pada dasarnya orang fasik adalah orang yang congkak, merasa ia tahu apa yang baik. Hukum-hukum Tuhan tidak relevan baginya. Ia melakukan segala sesuatu sesuai dorongan hatinya, tanpa berpikir tentang apa yang menjadi kehendak Tuhan, apa yang memuliakan Tuhan, bagaimana ia harus bergantung kepada Tuhan.
Ia bukan orang yang ateis, tetapi ia hidup seolah-olah Tuhan tidak ada, tidak melihat, dan tidak akan menuntut pertanggungjawaban atas hidupnya. Dalam bagian-bagian tertentu di Kitab Suci kita bisa melihat bahwa para pemimpin rohani pun bisa terjebak dalam dosa kefasikan.
Seberapa sering kita berpikir tentang Tuhan dan kehendak-Nya dalam menjalani hidup? Kita bisa beribadah beberapa jam lalu melanjutkan hidup seolah-olah Dia tidak melihat. Kita bisa melakukan banyak hal yang baik tanpa memikirkan Tuhan sama sekali.
Kita jarang berpikir tentang tanggung jawab kita kepada Pencipta kita dalam bekerja. Kita merasa cukup baik karena tidak melakukan dosa-dosa besar. Kita tidak tertarik membangun relasi yang intim dengan Tuhan.
Dalam derajat tertentu, kita pun bisa berlaku fasik, sehingga pola pikir dan perilaku kita tidak banyak berbeda dengan orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Kefasikan memberi ruang bagi dosa-dosa lain untuk bertumbuh. Waspadalah! —ELS
Hindarkan diri dari kefasikan dengan menyadari bahwa Tuhan hadir dan terlibat dalam hidup kita setiap hari.
* * *
Sumber: e-RH, 13/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
12 Desember 2012
Alih Fungsi Trotoar
Seorang penulis di rubrik pikiran pembaca mempermasalahkan trotoar. Trotoar di banyak kota di Indonesia sudah beralih fungsi dari tempat pejalan kaki menjadi tempat berjualan pedagang kaki lima.
Penulis itu mengusulkan alternatif agar kata trotoar dalam Kamus Bahasa Indonesia diubah artinya, atau trotoar benar-benar dikembalikan kepada fungsinya.
Bukan hanya trotoar saja yang mengalami alih fungsi, hidup kita pun demikian. Seharusnya sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, kita menggunakan tubuh kita untuk hidup dalam kebenaran, bukan untuk melakukan perbuatan dosa.
Milikilah prinsip hidup yang jelas. Ketidakjelasan tentang apa yang menjadi pegangan hidup kita memudahkan kita dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang bukan dari Tuhan.
Menjadi orang percaya tidak berada dalam posisi “netral”. Kita sudah menjadi milik Tuhan dan hidup kita berada dalam kekuasaan-Nya.
Kadangkala kita baru bersikap tegas setelah hidup ini terguncang masalah. Ucapan yang sering muncul adalah: “Kalau sudah begini, tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Tuhan.”
Manusia berbeda dengan binatang. Manusia tidak diberi ‘alat’ untuk bertahan dari serangan. Gajah mempunyai belalai, kijang bertanduk, ular berbisa, bahkan nyamuk yang kecil bisa membuat manusia kena demam berdarah dan meninggal.
Semua itu menunjukkan betapa mudahnya kita di-“jajah” oleh kekuatan lain. Binatang bisa dihadapi, tetapi manusia terkadang tidak punya kuasa untuk mengatakan “TIDAK” terhadap dosa.
Kita bukan seperti trotoar yang “diam” ketika dialihfungsikan dari tempat pejalan kaki menjadi tempat jualan pedagang kaki lima.
Kita memiliki senjata kebenaran. Istilah ini dipakai untuk menunjukkan bahwa kita punya sesuatu yang hebat dari Tuhan untuk melawan semua yang tidak benar.
Senjata —bukan cangkul, bukan martil— merupakan perlengkapan seorang prajurit yang siap tempur. Masih adakah senjata kebenaran di dalam hidup Anda yang benar-benar dapat digunakan? ~Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.
Senjata untuk melawan dosa bukan cuma hidup tidak berdosa, tetapi senjata kebenaran yang dapat mematahkan ketidakbenaran.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 12/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Trotoar
==========
Penulis itu mengusulkan alternatif agar kata trotoar dalam Kamus Bahasa Indonesia diubah artinya, atau trotoar benar-benar dikembalikan kepada fungsinya.
Bukan hanya trotoar saja yang mengalami alih fungsi, hidup kita pun demikian. Seharusnya sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, kita menggunakan tubuh kita untuk hidup dalam kebenaran, bukan untuk melakukan perbuatan dosa.
Milikilah prinsip hidup yang jelas. Ketidakjelasan tentang apa yang menjadi pegangan hidup kita memudahkan kita dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang bukan dari Tuhan.
Menjadi orang percaya tidak berada dalam posisi “netral”. Kita sudah menjadi milik Tuhan dan hidup kita berada dalam kekuasaan-Nya.
Kadangkala kita baru bersikap tegas setelah hidup ini terguncang masalah. Ucapan yang sering muncul adalah: “Kalau sudah begini, tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Tuhan.”
Manusia berbeda dengan binatang. Manusia tidak diberi ‘alat’ untuk bertahan dari serangan. Gajah mempunyai belalai, kijang bertanduk, ular berbisa, bahkan nyamuk yang kecil bisa membuat manusia kena demam berdarah dan meninggal.
Semua itu menunjukkan betapa mudahnya kita di-“jajah” oleh kekuatan lain. Binatang bisa dihadapi, tetapi manusia terkadang tidak punya kuasa untuk mengatakan “TIDAK” terhadap dosa.
Kita bukan seperti trotoar yang “diam” ketika dialihfungsikan dari tempat pejalan kaki menjadi tempat jualan pedagang kaki lima.
Kita memiliki senjata kebenaran. Istilah ini dipakai untuk menunjukkan bahwa kita punya sesuatu yang hebat dari Tuhan untuk melawan semua yang tidak benar.
Senjata —bukan cangkul, bukan martil— merupakan perlengkapan seorang prajurit yang siap tempur. Masih adakah senjata kebenaran di dalam hidup Anda yang benar-benar dapat digunakan? ~Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.
Senjata untuk melawan dosa bukan cuma hidup tidak berdosa, tetapi senjata kebenaran yang dapat mematahkan ketidakbenaran.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 12/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Trotoar
==========
09 Desember 2012
"Kacamata" Tuhan
Saat kita melihat apa yang terjadi di dunia ini, bisa jadi kita merasa seolah-olah Tuhan tidak adil. Mengapa? Sebab Tuhan sepertinya membiarkan ketidakbenaran merajalela. Orang jahat bisa bebas melakukan kejahatan tanpa terkena hukuman. Itulah yang akan kita lihat jika melihat dunia dari "kacamata" kita.
Seorang pemazmur pernah mengalami hal yang sama. Ia melihat bahwa orang fasik* hidup dengan makmur dan sukses. Sedangkan dirinya, malah tidak demikian.
Itu membuatnya berpikir bahwa mempertahankan hidup benar adalah hal yang sia-sia. Namun semuanya berubah tatkala ia memandang hal tersebut dari sudut pandang Tuhan.
*Catatan: Orang fasik adalah orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi tidak mengamalkan perintah-Nya, bahkan melakukan perbuatan dosa.
Kesudahan orang fasik yang diperlihatkan kepadanya, sungguh mencelikkan mata. Membuatnya sadar bahwa hal paling berharga dalam dirinya adalah Tuhan sendiri, bukan hal-hal fana seperti yang dikejar orang fasik.
Hanya Tuhan yang menjaminnya masuk dalam kemuliaan kekal, bukan kemakmuran duniawi apa pun. Itu sebabnya ia mengatakan bahwa yang ia ingini di bumi dan di surga hanyalah Tuhan.
Mari lihatlah segala sesuatu dari "kacamata" Tuhan, sehingga kita dapat melihat kebenaran yang sesungguhnya. Tidak perlu kita mengingini hal-hal yang dicapai orang lain secara tidak benar. Sebab, keadilan Tuhan tidak dapat dipermainkan oleh manusia.
Dengan demikian, jangan berhenti untuk selalu hidup dan berlaku benar di hadapan Tuhan. Walau ganjarannya tak segera tampak. Ingatlah bahwa Tuhan memberi kesudahan hidup setiap manusia sesuai dengan kebenaran yang dihidupinya. Ganjaran-Nya selalu adil. —RY
Kiranya hidup kita tak mengejar yang fana saja. Kejarlah Tuhan sebagai harta yang paling berharga.
* * *
Sumber: e-RH, 25/3/2011 (diedit seperlunya)
==========
Seorang pemazmur pernah mengalami hal yang sama. Ia melihat bahwa orang fasik* hidup dengan makmur dan sukses. Sedangkan dirinya, malah tidak demikian.
Itu membuatnya berpikir bahwa mempertahankan hidup benar adalah hal yang sia-sia. Namun semuanya berubah tatkala ia memandang hal tersebut dari sudut pandang Tuhan.
*Catatan: Orang fasik adalah orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi tidak mengamalkan perintah-Nya, bahkan melakukan perbuatan dosa.
Kesudahan orang fasik yang diperlihatkan kepadanya, sungguh mencelikkan mata. Membuatnya sadar bahwa hal paling berharga dalam dirinya adalah Tuhan sendiri, bukan hal-hal fana seperti yang dikejar orang fasik.
Hanya Tuhan yang menjaminnya masuk dalam kemuliaan kekal, bukan kemakmuran duniawi apa pun. Itu sebabnya ia mengatakan bahwa yang ia ingini di bumi dan di surga hanyalah Tuhan.
Mari lihatlah segala sesuatu dari "kacamata" Tuhan, sehingga kita dapat melihat kebenaran yang sesungguhnya. Tidak perlu kita mengingini hal-hal yang dicapai orang lain secara tidak benar. Sebab, keadilan Tuhan tidak dapat dipermainkan oleh manusia.
Dengan demikian, jangan berhenti untuk selalu hidup dan berlaku benar di hadapan Tuhan. Walau ganjarannya tak segera tampak. Ingatlah bahwa Tuhan memberi kesudahan hidup setiap manusia sesuai dengan kebenaran yang dihidupinya. Ganjaran-Nya selalu adil. —RY
Kiranya hidup kita tak mengejar yang fana saja. Kejarlah Tuhan sebagai harta yang paling berharga.
* * *
Sumber: e-RH, 25/3/2011 (diedit seperlunya)
==========
08 Desember 2012
Akhirnya Bahagia
Tandem Felix yang artinya “Akhirnya Bahagia”, merupakan tulisan di sebuah batu nisan dari seorang fisikawan dunia bernama Andre Marie Ampere, penemu satuan ukuran arus listrik yang disebut ampere. Tulisan tersebut sangat tepat untuknya mengingat hampir seluruh hidupnya selalu menderita batin.
Ia lahir tanggal 20 Januari 1775 di Lyon, Prancis dan meninggal dunia pada usia 61 tahun. Kesedihan itu berawal pada tahun 1793 atau tepatnya ketika ia berusia 18 tahun.
Ketika itu pertempuran di Kota Lyon sedang terjadi, di mana pendukung raja berperang melawan pendukung republik. Dan kekalahan dialami oleh pendukung raja. Pada kejadian itu ayah Ampere ditangkap dan kepalanya dipenggal dengan pisau guillotine.
Penderitaannya sepertinya hilang ketika dia menikah pada usia 24 tahun dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Hari-hari yang dilaluinya saat itu sangat menyenangkan dan indah. Tetapi, tampaknya kesedihan masih menghantui Ampere. Hal itu terbukti dengan kematian istrinya 4 tahun setelah anaknya lahir.
Kesedihan kali ini adalah penderitaan terbesar bagi hidup Ampere dan menjadikan dirinya sebagai orang yang murung dan hampir tidak mempunyai semangat hidup lagi. Untunglah pada saat ia berada dalam kondisi yang lemah itu, datang seorang ahli musik Prancis yang sangat terkenal, Lalande, yang dapat memberikan kehidupan baru baginya.
Pada hari-hari terakhir usianya, ia masih tetap memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan dalam bidang statistik, kimia, mekanika, kristalografi, dan optika.
Penderitaan menurut sebagian orang merupakan pemicu untuk membangkitkan semangat hidup dan melahirkan kreativitas yang menghasilkan karya yang luar biasa. Tetapi di sisi lain, kebanyakan orang lebih mengganggap penderitaan justru mematikan harapan dan membawa pada kehancuran.
Kisah (Nabi) Ayub memiliki keterkaitan yang erat dengan penderitaan. Hal ini tidak berlebihan, karena seluruh kitab Ayub memang mencoba menjelaskan salah satu aspek dari penderitaan, khususnya penderitaan yang dialami oleh orang benar, sekalipun orang itu tidak bersalah dalam terjadinya penderitaan itu.
Pendeknya, Ayub bergumul dengan keadilan Tuhan yang terlihat sulit untuk dipahami. Memang penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan semua manusia, sehingga memiliki relevansi bagi setiap orang.
Namun yang menarik bahwa dari sekian banyak penderitaan yang bertubi-tubi melanda dalam kehidupan Ayub (anaknya meninggal, istrinya meninggalkan dia, harta lenyap, sahabat pun mengolok-olok; seakan tidak ada lagi pengharapan), justru pada akhirnya Ayub dapat berkata kepada Tuhan: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.”
Perkataan Ayub memberikan sebuah keyakinan baru bahwa Tuhan dapat mengerjakan segala rancangan-Nya yang tidak mudah dipahami oleh manusia, tetapi semuanya ada untuk kebaikan kita. Ingatlah bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala yang kita alami, bahkan kesulitan terberat sekalipun.
Penderitaan bukan menjadi sesuatu yang kita takuti, namun membuat kita semakin percaya bahwa Tuhan berkuasa dan bekerja dalam setiap hal, yang pada akhirnya Tandem Felix; bahagia.
Hendaklah setiap kita belajar dari kehidupan Ampere dan Ayub, yang walaupun sejak awal atau dalam perjalanan hidup selalu saja dipenuhi dengan tangis dan derita, namun semuanya pasti akan berakhir bahagia juga.
Percayakan hidup ini kepada Dia, Sang Pembentuk kehidupan. Karena Dialah, kita dapat mengerti arti hidup yang sesungguhnya. —Larry T.L. Tobing
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 8/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Tandem Felix
==========
Ia lahir tanggal 20 Januari 1775 di Lyon, Prancis dan meninggal dunia pada usia 61 tahun. Kesedihan itu berawal pada tahun 1793 atau tepatnya ketika ia berusia 18 tahun.
Ketika itu pertempuran di Kota Lyon sedang terjadi, di mana pendukung raja berperang melawan pendukung republik. Dan kekalahan dialami oleh pendukung raja. Pada kejadian itu ayah Ampere ditangkap dan kepalanya dipenggal dengan pisau guillotine.
Penderitaannya sepertinya hilang ketika dia menikah pada usia 24 tahun dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Hari-hari yang dilaluinya saat itu sangat menyenangkan dan indah. Tetapi, tampaknya kesedihan masih menghantui Ampere. Hal itu terbukti dengan kematian istrinya 4 tahun setelah anaknya lahir.
Kesedihan kali ini adalah penderitaan terbesar bagi hidup Ampere dan menjadikan dirinya sebagai orang yang murung dan hampir tidak mempunyai semangat hidup lagi. Untunglah pada saat ia berada dalam kondisi yang lemah itu, datang seorang ahli musik Prancis yang sangat terkenal, Lalande, yang dapat memberikan kehidupan baru baginya.
Pada hari-hari terakhir usianya, ia masih tetap memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan dalam bidang statistik, kimia, mekanika, kristalografi, dan optika.
Andre Marie Ampere |
Kisah (Nabi) Ayub memiliki keterkaitan yang erat dengan penderitaan. Hal ini tidak berlebihan, karena seluruh kitab Ayub memang mencoba menjelaskan salah satu aspek dari penderitaan, khususnya penderitaan yang dialami oleh orang benar, sekalipun orang itu tidak bersalah dalam terjadinya penderitaan itu.
Pendeknya, Ayub bergumul dengan keadilan Tuhan yang terlihat sulit untuk dipahami. Memang penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan semua manusia, sehingga memiliki relevansi bagi setiap orang.
Namun yang menarik bahwa dari sekian banyak penderitaan yang bertubi-tubi melanda dalam kehidupan Ayub (anaknya meninggal, istrinya meninggalkan dia, harta lenyap, sahabat pun mengolok-olok; seakan tidak ada lagi pengharapan), justru pada akhirnya Ayub dapat berkata kepada Tuhan: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.”
Perkataan Ayub memberikan sebuah keyakinan baru bahwa Tuhan dapat mengerjakan segala rancangan-Nya yang tidak mudah dipahami oleh manusia, tetapi semuanya ada untuk kebaikan kita. Ingatlah bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala yang kita alami, bahkan kesulitan terberat sekalipun.
Penderitaan bukan menjadi sesuatu yang kita takuti, namun membuat kita semakin percaya bahwa Tuhan berkuasa dan bekerja dalam setiap hal, yang pada akhirnya Tandem Felix; bahagia.
Hendaklah setiap kita belajar dari kehidupan Ampere dan Ayub, yang walaupun sejak awal atau dalam perjalanan hidup selalu saja dipenuhi dengan tangis dan derita, namun semuanya pasti akan berakhir bahagia juga.
Percayakan hidup ini kepada Dia, Sang Pembentuk kehidupan. Karena Dialah, kita dapat mengerti arti hidup yang sesungguhnya. —Larry T.L. Tobing
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 8/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Tandem Felix
==========
04 Desember 2012
Lupa Kasih yang Semula
Soren Kierkegaard mengarang cerita tentang seorang pria dari negeri Barat yang datang ke Tiongkok dan menjalin cinta dengan seorang wanita di sana.
Ketika pulang ke negeri asalnya, ia berjanji kepada sang wanita untuk mempelajari bahasa Mandarin supaya mereka dapat saling menulis surat cinta.
Ia memenuhi janjinya dengan belajar bahasa Mandarin sampai ke perguruan tinggi. Bahkan, ia menjadi guru besar bahasa itu. Namun, ia akhirnya lebih mencintai bahasa Mandarin dan profesi barunya sebagai guru besar.
Ia tak lagi peduli untuk menulis surat kepada sang kekasih, apalagi kembali ke Tiongkok. Ia melupakan kasihnya yang semula kepada sang kekasih.
Hati kita miris membaca ironi cerita di atas. Namun demikian, ironi ini kerap dilakukan oleh umat Tuhan. Di satu sisi, mereka memiliki aneka prestasi yang mengagumkan. Mereka suka berjerih lelah, tekun melayani, rajin menguji ajaran palsu, dan sabar menderita bagi Tuhan.
Akan tetapi, Tuhan tetap mencela dan menegur mereka. Mengapa? Karena, jauh di dalam hati, mereka sudah kehilangan kasih yang semula kepada-Nya. Aktivitas mereka yang secara lahiriah sangat padat dan sibuk, tidak dibarengi dengan kedalaman kasih mereka kepada Tuhan.
Apakah kita memiliki kecenderungan seperti itu? Kita suka melayani. Kita menegakkan ajaran yang benar. Kita mau menderita bagi Tuhan. Akan tetapi, kita sudah melupakan kasih yang semula kepada Tuhan.
Camkanlah peringatan Tuhan ini dan bertobatlah sekarang juga. —JIM
Inilah permohonanku yang tulus: lebih mengasihi engkau, oh Tuhan! ~Howard Doane
* * *
Sumber: e-RH, 4/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
Ketika pulang ke negeri asalnya, ia berjanji kepada sang wanita untuk mempelajari bahasa Mandarin supaya mereka dapat saling menulis surat cinta.
Ia memenuhi janjinya dengan belajar bahasa Mandarin sampai ke perguruan tinggi. Bahkan, ia menjadi guru besar bahasa itu. Namun, ia akhirnya lebih mencintai bahasa Mandarin dan profesi barunya sebagai guru besar.
Ia tak lagi peduli untuk menulis surat kepada sang kekasih, apalagi kembali ke Tiongkok. Ia melupakan kasihnya yang semula kepada sang kekasih.
Hati kita miris membaca ironi cerita di atas. Namun demikian, ironi ini kerap dilakukan oleh umat Tuhan. Di satu sisi, mereka memiliki aneka prestasi yang mengagumkan. Mereka suka berjerih lelah, tekun melayani, rajin menguji ajaran palsu, dan sabar menderita bagi Tuhan.
Akan tetapi, Tuhan tetap mencela dan menegur mereka. Mengapa? Karena, jauh di dalam hati, mereka sudah kehilangan kasih yang semula kepada-Nya. Aktivitas mereka yang secara lahiriah sangat padat dan sibuk, tidak dibarengi dengan kedalaman kasih mereka kepada Tuhan.
Apakah kita memiliki kecenderungan seperti itu? Kita suka melayani. Kita menegakkan ajaran yang benar. Kita mau menderita bagi Tuhan. Akan tetapi, kita sudah melupakan kasih yang semula kepada Tuhan.
Camkanlah peringatan Tuhan ini dan bertobatlah sekarang juga. —JIM
Inilah permohonanku yang tulus: lebih mengasihi engkau, oh Tuhan! ~Howard Doane
* * *
Sumber: e-RH, 4/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
02 Desember 2012
Bersiap untuk Hari Istimewa
Menantikan sesuatu mungkin membosankan bagi banyak orang. Tetapi tidak bagi pemerintah kota London dan sekitar 10.000 atlet dari 204 negara peserta Olimpiade 2012.
Sejak empat tahun silam kebanyakan atlet sudah mulai mempersiapkan diri dengan latihan-latihan serta pengaturan pola makan yang ketat.
London sendiri melakukan berbagai pembenahan kota sejak masuk nominasi delapan tahun sebelumnya. Mereka menantikan sesuatu yang istimewa dan tak sehari pun mereka lalai memikirkannya.
Di Yerusalem menjelang abad pertama, Simeon dan Hana menantikan sesuatu yang jauh lebih istimewa, yakni kedatangan Sang Mesias. Kedua orang ini tampaknya telah menanti sangat lama.
Simeon sudah uzur dan tinggal menunggu ajal menjemput, sementara Hana sudah berusia 84 tahun. Bagaimana mereka melewati masa penantian yang panjang itu?
Hana berpuasa dan berdoa siang dan malam. Simeon tampaknya telah banyak bertekun dalam firman dan doa sehingga ia sangat memahami banyak nubuat tentang Sang Mesias.
Kedatangan Sang Mesias kini kita ingat dan syukuri tiap kali Natal menjelang, disertai pengharapan akan kedatangan-Nya yang kedua kali kelak. Kita menyebutnya Adven, bahasa Latin untuk kata kedatangan, yang dimulai empat minggu sebelum Natal.
Apa yang kita lakukan dalam masa penantian ini? Sibuk berbelanja, mencari tambahan penghasilan, atau meluangkan waktu lebih banyak untuk merenungkan makna kedatangan-Nya?
Mari arahkan hati agar kita peka mendengar apa yang Dia ingin kita lakukan menjelang perayaan Natal tahun ini, juga menjelang kedatangan-Nya yang kedua kali. —JOE
Nantikanlah kedatangan Tuhan dengan hati yang penuh harap akan Dia.
* * *
Sumber: e-RH, 2/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
Sejak empat tahun silam kebanyakan atlet sudah mulai mempersiapkan diri dengan latihan-latihan serta pengaturan pola makan yang ketat.
London sendiri melakukan berbagai pembenahan kota sejak masuk nominasi delapan tahun sebelumnya. Mereka menantikan sesuatu yang istimewa dan tak sehari pun mereka lalai memikirkannya.
Di Yerusalem menjelang abad pertama, Simeon dan Hana menantikan sesuatu yang jauh lebih istimewa, yakni kedatangan Sang Mesias. Kedua orang ini tampaknya telah menanti sangat lama.
Simeon sudah uzur dan tinggal menunggu ajal menjemput, sementara Hana sudah berusia 84 tahun. Bagaimana mereka melewati masa penantian yang panjang itu?
Hana berpuasa dan berdoa siang dan malam. Simeon tampaknya telah banyak bertekun dalam firman dan doa sehingga ia sangat memahami banyak nubuat tentang Sang Mesias.
Kedatangan Sang Mesias kini kita ingat dan syukuri tiap kali Natal menjelang, disertai pengharapan akan kedatangan-Nya yang kedua kali kelak. Kita menyebutnya Adven, bahasa Latin untuk kata kedatangan, yang dimulai empat minggu sebelum Natal.
Apa yang kita lakukan dalam masa penantian ini? Sibuk berbelanja, mencari tambahan penghasilan, atau meluangkan waktu lebih banyak untuk merenungkan makna kedatangan-Nya?
Mari arahkan hati agar kita peka mendengar apa yang Dia ingin kita lakukan menjelang perayaan Natal tahun ini, juga menjelang kedatangan-Nya yang kedua kali. —JOE
Nantikanlah kedatangan Tuhan dengan hati yang penuh harap akan Dia.
* * *
Sumber: e-RH, 2/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
29 November 2012
Tuhan bagi Semua Orang
Saya tidak bisa melupakan hari itu. Pemimpin ibadah kami berdiri di mimbar dengan mengenakan kerudung. Seolah membaca pikiran saya, ia bertanya apakah jemaat merasa terganggu dengan penampilannya.
Ia mengingatkan kami bahwa bagi jemaat abad pertama, mengenakan kerudung adalah hal yang normal, tetapi karena kekristenan di Indonesia banyak dibawa oleh misionaris barat, tradisinya jadi berbeda.
Jemaat mula-mula pun awalnya sulit menerima orang yang berbeda dari mereka.
Rasul Petrus, pemimpin jemaat mula-mula, adalah contoh yang nyata. Tuhan harus memberikan penglihatan khusus sebanyak tiga kali untuk memantapkan Petrus melangkah ke rumah seseorang yang bernama Kornelius.
Bangsa Yahudi memang dipanggil Tuhan untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa yang jahat dan menyembah berhala. Namun, itu tidak berarti mereka juga harus menjauhi orang-orang dari bangsa mana pun yang sungguh-sungguh mencari Tuhan.
Petrus menyadari kekeliruannya yang telah memandang rendah kaum yang tidak mengikuti tradisi Yahudi.
Periksalah hati kita saat melihat orang-orang yang beribadah kepada Tuhan dengan cara yang berbeda dengan kita. Apakah kita cenderung menjauh dan menjaga jarak? Apakah kita cenderung berpikir negatif dan menutup diri untuk berbicara tentang hal-hal rohani kepada mereka?
Tuhan memanggil kita untuk menyatakan kasih-Nya kepada semua orang, termasuk mereka yang berbeda dengan kita. —ITA
* * *
Sumber: e-RH, 29/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Tuhan atas Semua Orang
==========
Ia mengingatkan kami bahwa bagi jemaat abad pertama, mengenakan kerudung adalah hal yang normal, tetapi karena kekristenan di Indonesia banyak dibawa oleh misionaris barat, tradisinya jadi berbeda.
Jemaat mula-mula pun awalnya sulit menerima orang yang berbeda dari mereka.
Rasul Petrus, pemimpin jemaat mula-mula, adalah contoh yang nyata. Tuhan harus memberikan penglihatan khusus sebanyak tiga kali untuk memantapkan Petrus melangkah ke rumah seseorang yang bernama Kornelius.
Bangsa Yahudi memang dipanggil Tuhan untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa yang jahat dan menyembah berhala. Namun, itu tidak berarti mereka juga harus menjauhi orang-orang dari bangsa mana pun yang sungguh-sungguh mencari Tuhan.
Petrus menyadari kekeliruannya yang telah memandang rendah kaum yang tidak mengikuti tradisi Yahudi.
Periksalah hati kita saat melihat orang-orang yang beribadah kepada Tuhan dengan cara yang berbeda dengan kita. Apakah kita cenderung menjauh dan menjaga jarak? Apakah kita cenderung berpikir negatif dan menutup diri untuk berbicara tentang hal-hal rohani kepada mereka?
Tuhan memanggil kita untuk menyatakan kasih-Nya kepada semua orang, termasuk mereka yang berbeda dengan kita. —ITA
* * *
Sumber: e-RH, 29/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Tuhan atas Semua Orang
==========
20 November 2012
Harus Jadi Nomor Satu?
Seorang pemuda menulis di blog-nya: "Belakangan saya merasa, hidup ini adalah sebuah persaingan. Orang-orang bersaing untuk mendapatkan kepuasan, kesuksesan, dan berbagai hal lainnya. Mulai dari tukang jualan, tukang ojek, sopir angkot, mahasiswa, karyawan, semuanya ingin mendapatkan yang lebih baik daripada orang lain. Dalam kehidupan spiritual pun orang bersaing mendapatkan amal baik sebanyak-banyaknya demi pintu surga-Nya ...."
Apakah Anda juga menganggap kehidupan ini adalah sebuah medan persaingan?
Dalam sebuah perlombaan, hadiah utamanya hanya satu, tetapi dalam kehidupan spiritual, kita semua bisa menerima hadiah yang disediakan Tuhan. Kita tidak perlu bersaing. Namun kita perlu melakukan segala sesuatu bagi Tuhan dengan intensitas yang sama seperti seorang pelari dalam lomba.
Kompetisi yang sehat dapat menjadi arena yang baik untuk mendorong orang memberikan apa yang terbaik. Namun, jiwa bersaing yang selalu ingin menang sendiri adalah sikap yang egois, lahan subur bagi iri hati, cemburu, dan perseteruan.
Kita kehilangan sukacita ketika orang lain berhasil, karena cenderung memandang mereka sebagai lawan. Pertanyaan yang seharusnya diajukan untuk memacu diri bukanlah: "Apakah kita menang?", melainkan, "Apakah kita telah melakukan yang terbaik?" —ITA
Memberikan yang terbaik adalah wujud penghormatan kita kepada Tuhan.
* * *
Sumber: e-RH, 20/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
Apakah Anda juga menganggap kehidupan ini adalah sebuah medan persaingan?
Dalam sebuah perlombaan, hadiah utamanya hanya satu, tetapi dalam kehidupan spiritual, kita semua bisa menerima hadiah yang disediakan Tuhan. Kita tidak perlu bersaing. Namun kita perlu melakukan segala sesuatu bagi Tuhan dengan intensitas yang sama seperti seorang pelari dalam lomba.
Kompetisi yang sehat dapat menjadi arena yang baik untuk mendorong orang memberikan apa yang terbaik. Namun, jiwa bersaing yang selalu ingin menang sendiri adalah sikap yang egois, lahan subur bagi iri hati, cemburu, dan perseteruan.
Kita kehilangan sukacita ketika orang lain berhasil, karena cenderung memandang mereka sebagai lawan. Pertanyaan yang seharusnya diajukan untuk memacu diri bukanlah: "Apakah kita menang?", melainkan, "Apakah kita telah melakukan yang terbaik?" —ITA
Memberikan yang terbaik adalah wujud penghormatan kita kepada Tuhan.
* * *
Sumber: e-RH, 20/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
19 November 2012
Bohong Putih
Jikalau kepada kita diajukan petanyaan, “Berbohong itu dosa atau tidak?” Tentulah kita semua akan menjawab dengan sepakat bahwa berbohong itu adalah perbuatan dosa. Sebab kita tahu, bahwa Tuhan menghendaki agar kita menghindari yang namanya kebohongan.
Ia mengajak kita semua untuk berkata benar tentang segala sesuatu. Sejak kecil kita diajar untuk bersikap jujur: “Jika ya, hendaklah kamu katakan ya. Jika tidak hendaklah kamu katakan tidak.”
Namun, jikalau pertanyaannya kemudian sedikit diubah, “Jikalau ada orang yang berbohong dengan tujuan yang baik, apakah tindakan orang itu juga bisa dikatakan sebagai perbuatan dosa?”
Mungkin tidak semua dari kita menjawab bahwa itu dosa. Ada di antara kita yang mungkin akan menjawab bahwa tindakan seperti itu bisa dikatakan tidak berdosa.
Berbohong demi kebaikan merupakan salah satu bentuk ‘white lie’ yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. White lie atau bohong putih adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada sebuah tindakan kurang baik namun tetap dilakukan dengan tujuan untuk kebaikan orang yang menerimanya.
Bagaimana sikap kita terhadap hal-hal seperti itu? Apakah kita harus menyetujui dan membiarkannya?
Kebohongan tetaplah kebohongan dan itu adalah tindakan yang tidak benar, sekalipun dilakukan demi tujuan yang baik. Kalaupun ada kebohongan yang menghasilkan kebaikan, pastilah kebaikan itu bersifat sementara, bukan selamanya.
Siapa pun yang menerima kebaikan itu, kalau tahu dibohongi pasti akan menjadi kecewa dan sakit hati. Tidak mungkin kita dapat memadukan kebaikan dengan kejahatan.
Karena itu, marilah kita belajar untuk meninggalkan kebohongan dan mewujudkan kehidupan yang jujur. Katakanlah apa yang seharusnya dikatakan, sekalipun ada risiko yang harus kita tanggung di kemudian hari. —Pdt. Yonatan Wijayanto
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 19/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: White Lie
==========
Ia mengajak kita semua untuk berkata benar tentang segala sesuatu. Sejak kecil kita diajar untuk bersikap jujur: “Jika ya, hendaklah kamu katakan ya. Jika tidak hendaklah kamu katakan tidak.”
Namun, jikalau pertanyaannya kemudian sedikit diubah, “Jikalau ada orang yang berbohong dengan tujuan yang baik, apakah tindakan orang itu juga bisa dikatakan sebagai perbuatan dosa?”
Mungkin tidak semua dari kita menjawab bahwa itu dosa. Ada di antara kita yang mungkin akan menjawab bahwa tindakan seperti itu bisa dikatakan tidak berdosa.
Berbohong demi kebaikan merupakan salah satu bentuk ‘white lie’ yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. White lie atau bohong putih adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada sebuah tindakan kurang baik namun tetap dilakukan dengan tujuan untuk kebaikan orang yang menerimanya.
Bagaimana sikap kita terhadap hal-hal seperti itu? Apakah kita harus menyetujui dan membiarkannya?
Kebohongan tetaplah kebohongan dan itu adalah tindakan yang tidak benar, sekalipun dilakukan demi tujuan yang baik. Kalaupun ada kebohongan yang menghasilkan kebaikan, pastilah kebaikan itu bersifat sementara, bukan selamanya.
Siapa pun yang menerima kebaikan itu, kalau tahu dibohongi pasti akan menjadi kecewa dan sakit hati. Tidak mungkin kita dapat memadukan kebaikan dengan kejahatan.
Karena itu, marilah kita belajar untuk meninggalkan kebohongan dan mewujudkan kehidupan yang jujur. Katakanlah apa yang seharusnya dikatakan, sekalipun ada risiko yang harus kita tanggung di kemudian hari. —Pdt. Yonatan Wijayanto
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 19/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: White Lie
==========
13 November 2012
Kudus
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata "kudus"? Sebuah kota di Jawa Tengah? Seseorang yang kerjanya hanya berdoa dan membaca firman Tuhan? Rohaniwan yang tidak terlibat dengan urusan bisnis dan politik? Benda atau makanan yang sudah didoakan?
Tanpa disadari, kita mungkin punya definisi sendiri tentang apa yang kudus dan tidak.
Nabi Musa menulis kata "kudus" berkali-kali untuk menggambarkan Pribadi dan kehendak Tuhan. Dalam bahasa Ibrani: qadosh, yang berarti "terpisah atau tidak bercampur dengan yang lain".
Berbicara tentang kekudusan Tuhan berarti berbicara tentang "keberbedaan"-Nya yang menggetarkan.
Seperti mainan kertas di hadapan orang yang membuatnya, kira-kira begitulah gambaran atlet terkuat, ilmuwan terpintar, pemimpin terhebat di mata Tuhan. Dia Pencipta, yang lain ciptaan. Tak bisa dibandingkan.
Tuhan yang kudus ini menghendaki umat-Nya mencerminkan pribadi-Nya. Bangsa-bangsa lain menyembah patung dan benda-benda angkasa, umat Tuhan harus menyembah Sang Pencipta. Mereka menentukan benar dan salah menurut standar sendiri, umat Tuhan harus hidup sesuai dengan standar Tuhan.
Seberapa banyakkah kita yang mengaku sebagai umat Tuhan mencerminkan kekudusan-Nya? Jika kita hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, berbuat baik untuk dilihat orang, apa bedanya kita dengan orang yang belum percaya?
Kita dipanggil untuk hidup melampaui standar dunia yang sudah rusak oleh dosa. Mengasihi orang yang menyakiti kita. Melakukan segala sesuatu untuk dilihat Tuhan, bukan manusia. Ketika kita melihat betapa kudusnya Tuhan, seharusnya kita hidup secara berbeda. —LIT
Menjadi kudus berarti menjadi berbeda. Makin menyerupai Tuhan, bukan dunia.
* * *
Sumber: e-RH, 13/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Qadosh
==========
Tanpa disadari, kita mungkin punya definisi sendiri tentang apa yang kudus dan tidak.
Nabi Musa menulis kata "kudus" berkali-kali untuk menggambarkan Pribadi dan kehendak Tuhan. Dalam bahasa Ibrani: qadosh, yang berarti "terpisah atau tidak bercampur dengan yang lain".
Berbicara tentang kekudusan Tuhan berarti berbicara tentang "keberbedaan"-Nya yang menggetarkan.
Seperti mainan kertas di hadapan orang yang membuatnya, kira-kira begitulah gambaran atlet terkuat, ilmuwan terpintar, pemimpin terhebat di mata Tuhan. Dia Pencipta, yang lain ciptaan. Tak bisa dibandingkan.
Tuhan yang kudus ini menghendaki umat-Nya mencerminkan pribadi-Nya. Bangsa-bangsa lain menyembah patung dan benda-benda angkasa, umat Tuhan harus menyembah Sang Pencipta. Mereka menentukan benar dan salah menurut standar sendiri, umat Tuhan harus hidup sesuai dengan standar Tuhan.
Seberapa banyakkah kita yang mengaku sebagai umat Tuhan mencerminkan kekudusan-Nya? Jika kita hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, berbuat baik untuk dilihat orang, apa bedanya kita dengan orang yang belum percaya?
Kita dipanggil untuk hidup melampaui standar dunia yang sudah rusak oleh dosa. Mengasihi orang yang menyakiti kita. Melakukan segala sesuatu untuk dilihat Tuhan, bukan manusia. Ketika kita melihat betapa kudusnya Tuhan, seharusnya kita hidup secara berbeda. —LIT
Menjadi kudus berarti menjadi berbeda. Makin menyerupai Tuhan, bukan dunia.
* * *
Sumber: e-RH, 13/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Qadosh
==========
31 Oktober 2012
Kebijaksanaan Tuhan
Seorang lelaki tua berbaring di bawah pohon mangga di pekarangan rumahnya pada suatu sore. Matanya menjelajah pekarangannya yang cukup luas, yang ditanami beberapa pohon buah-buahan.
Matanya sampai pada pohon labu yang sedang berbuah. Melihat pemandangan itu ia berguman kepada diri sendiri, “Hmm, betapa bodohnya Tuhan. Ia menciptakan buah labu yang besar dan berat pada batang yang kecil dan lemah sehingga tidak dapat melakukan sesuatu kecuali tergeletak di tanah.”
“Sebaliknya Ia menggantung buah-buah mangga yang kecil ini pada sebatang pohon besar, kokoh, dan kuat yang bahkan dapat memanggul berat badan manusia. Seandainya aku Tuhan, aku akan dapat melakukan sesuatu yang lebih baik daripada yang telah dilakukan-Nya ini.”
Baru saja ia selesai bicara, angin bertiup dengan kencang dan menjatuhkan beberapa buah mangga dari pohonnya. Satu buah mangga jatuh tepat mengenai kepala lelaki tua itu. Dia pun berteriak kesakitan dan mendapati benjolan di kepalanya.
Kejadian ini membuatnya bersikap bijaksana. “Ah, seandainya pohon mangga ini berbuah sebesar labu, aku pasti…” Ia tidak berani meneruskan jalan pikirannya itu. Anda tentu bisa menebak kelanjutannya.
Sambil mengelus-elus benjolan di kepalanya dia berkata, “Aku tidak akan pernah lagi mencoba merancang dunia bagi Tuhan, tetapi aku akan selalu berterima kasih kepada Tuhan karena Ia telah merancang dunia sedemikian baik.”
Barangkali kita tertawa geli membaca cerita Tony Castle ini. Barangkali kita juga segera menghakimi: “Alangkah kurang ajarnya lelaki tua itu.”
Tetapi, barangkali pula secara tidak sadar atau secara tidak langsung kita juga pernah, bahkan mungkin sering, bersikap seperti lelaki tua itu: mengeluh, menggerutu, menyalahkan Tuhan atas apa yang telah dilakukan-Nya atau karena peristiwa yang diizinkan-Nya terjadi dalam hidup kita.
“Mengapa begini, seharusnya kan begitu,” pikir kita. Tetapi, dengan berbuat demikian bukankah kita hendak mengatur Tuhan?
Kita memang tidak akan pernah bisa memahami kebijaksanaan Tuhan. Tetapi asal kita yakin bahwa segala sesuatu yang dijadikan-Nya sungguh amat baik, maka kita akan dapat berkata, “Kita tahu sekarang, bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya.” —Liana Poedjihastuti
Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 31/10/2012 (diedit sedikit)
==========
Matanya sampai pada pohon labu yang sedang berbuah. Melihat pemandangan itu ia berguman kepada diri sendiri, “Hmm, betapa bodohnya Tuhan. Ia menciptakan buah labu yang besar dan berat pada batang yang kecil dan lemah sehingga tidak dapat melakukan sesuatu kecuali tergeletak di tanah.”
“Sebaliknya Ia menggantung buah-buah mangga yang kecil ini pada sebatang pohon besar, kokoh, dan kuat yang bahkan dapat memanggul berat badan manusia. Seandainya aku Tuhan, aku akan dapat melakukan sesuatu yang lebih baik daripada yang telah dilakukan-Nya ini.”
Baru saja ia selesai bicara, angin bertiup dengan kencang dan menjatuhkan beberapa buah mangga dari pohonnya. Satu buah mangga jatuh tepat mengenai kepala lelaki tua itu. Dia pun berteriak kesakitan dan mendapati benjolan di kepalanya.
Kejadian ini membuatnya bersikap bijaksana. “Ah, seandainya pohon mangga ini berbuah sebesar labu, aku pasti…” Ia tidak berani meneruskan jalan pikirannya itu. Anda tentu bisa menebak kelanjutannya.
Sambil mengelus-elus benjolan di kepalanya dia berkata, “Aku tidak akan pernah lagi mencoba merancang dunia bagi Tuhan, tetapi aku akan selalu berterima kasih kepada Tuhan karena Ia telah merancang dunia sedemikian baik.”
Barangkali kita tertawa geli membaca cerita Tony Castle ini. Barangkali kita juga segera menghakimi: “Alangkah kurang ajarnya lelaki tua itu.”
Tetapi, barangkali pula secara tidak sadar atau secara tidak langsung kita juga pernah, bahkan mungkin sering, bersikap seperti lelaki tua itu: mengeluh, menggerutu, menyalahkan Tuhan atas apa yang telah dilakukan-Nya atau karena peristiwa yang diizinkan-Nya terjadi dalam hidup kita.
“Mengapa begini, seharusnya kan begitu,” pikir kita. Tetapi, dengan berbuat demikian bukankah kita hendak mengatur Tuhan?
Kita memang tidak akan pernah bisa memahami kebijaksanaan Tuhan. Tetapi asal kita yakin bahwa segala sesuatu yang dijadikan-Nya sungguh amat baik, maka kita akan dapat berkata, “Kita tahu sekarang, bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya.” —Liana Poedjihastuti
Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 31/10/2012 (diedit sedikit)
==========
02 Oktober 2012
Saling Melengkapi
Alkisah setelah Adam dan Hawa diusir dari taman Firdaus, mereka lalu membangun rumah dan mendapatkan makanan dengan susah payah. Adam membajak ladang, Hawa menenun wol. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikaruniai 14 orang anak.
Pada suatu hari, Tuhan singgah ke rumah Adam dan Hawa, bermaksud memberkati anak-anak mereka. Tujuh orang anak ada di rumah, sementara yang tujuh lainnya masih di ladang.
Segera anak-anak itu berlutut di hadapan-Nya. Tuhan menumpangkan tangan ke atas kepala mereka satu per satu dan mengucapkan berkat.
“Engkau akan menjadi raja yang berkuasa,” kata-Nya kepada anak pertama. Kepada yang kedua ia berkata, “Engkau akan menjadi ratu.” Dan kepada anak ketiga, “Engkau akan menjadi pangeran.”
Anak keempat dan yang lainnya menerima berkat masing-masing akan menjadi ilmuwan dan pedagang.
Mendengar berkat Tuhan kepada ketujuh anak mereka, bukan main gembira hati Adam dan Hawa. Segera mereka berlari ke ladang menjemput ketujuh anak mereka yang lain.
Ketujuh anak itu juga berlutut di hadapan Tuhan. Lalu sekali lagi Tuhan mengucapkan berkat.
Kepada yang pertama Dia berkata, “Engkau akan menjadi pembantu rumah tangga.” Kepada yang kedua, “Engkau akan menjadi petani.” Kepada yang lainnya Tuhan menganugerahkan berkat menjadi tukang sepatu, pandai besi, penyamak kulit, dan tukang jahit.
Bukan main terkejut dan kecewa Adam dan Hawa mendengar berkat yang dibagikan kepada anak-anak mereka di kelompok kedua ini.
Kemudian Hawa mengeluh, “Tuhan, ini benar-benar tidak adil. Engkau membagikan berkat-Mu tidak merata. Mereka semua adalah anak-anakku, tetapi Engkau mengangkat sebagian menjadi penguasa, sementara sebagian lagi menjadi budak.”
Tuhan menjawab, “Hawa, tidakkah engkau mengerti, adalah penting bagi-Ku menyediakan pekerjaan-pekerjaan di bumi ini melalui anak-anakmu? Jika semua menjadi raja dan ratu, tidak akan ada yang bertani dan menyiapkan makanan bagi mereka.”
“Jika semua menjadi pangeran, lalu siapa yang akan menyediakan pakaian? Setiap orang dianugerahi tugas yang berbeda-beda, dan dalam pandangan-Ku, semua pekerjaan penting.”
“Seperti bagian tubuh saling bergantung dan saling melengkapi, demikian juga semua pekerjaan itu saling bergantung dan saling melengkapi.”
Hawa kemudian berkata, “Ya Tuhan, ampunilah aku. Aku lancang dan berburuk sangka terhadap-Mu.”
Cerita rakyat Jerman ini menyadarkan kita agar tidak meremehkan atau memandang rendah pekerjaan tertentu. Sebab tanpa pekerjaan itu, mungkin pekerjaan kita tidak bisa dilaksanakan secara optimal.
Kita juga semakin menyadari bahwa pekerjaan berbeda-beda agar saling memerhatikan, saling melengkapi.
Di atas semua itu yang terpenting adalah kita belajar bahwa Tuhan bisa memberkati kita melalui apa pun pekerjaan kita dan menjadikan kita berkat melalui pekerjaan kita. —Liana Poedjihastuti
Setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 2/10/2012
==========
Pada suatu hari, Tuhan singgah ke rumah Adam dan Hawa, bermaksud memberkati anak-anak mereka. Tujuh orang anak ada di rumah, sementara yang tujuh lainnya masih di ladang.
(Adam dan Hawa)
Segera anak-anak itu berlutut di hadapan-Nya. Tuhan menumpangkan tangan ke atas kepala mereka satu per satu dan mengucapkan berkat.
“Engkau akan menjadi raja yang berkuasa,” kata-Nya kepada anak pertama. Kepada yang kedua ia berkata, “Engkau akan menjadi ratu.” Dan kepada anak ketiga, “Engkau akan menjadi pangeran.”
Anak keempat dan yang lainnya menerima berkat masing-masing akan menjadi ilmuwan dan pedagang.
Mendengar berkat Tuhan kepada ketujuh anak mereka, bukan main gembira hati Adam dan Hawa. Segera mereka berlari ke ladang menjemput ketujuh anak mereka yang lain.
Ketujuh anak itu juga berlutut di hadapan Tuhan. Lalu sekali lagi Tuhan mengucapkan berkat.
Kepada yang pertama Dia berkata, “Engkau akan menjadi pembantu rumah tangga.” Kepada yang kedua, “Engkau akan menjadi petani.” Kepada yang lainnya Tuhan menganugerahkan berkat menjadi tukang sepatu, pandai besi, penyamak kulit, dan tukang jahit.
Bukan main terkejut dan kecewa Adam dan Hawa mendengar berkat yang dibagikan kepada anak-anak mereka di kelompok kedua ini.
Kemudian Hawa mengeluh, “Tuhan, ini benar-benar tidak adil. Engkau membagikan berkat-Mu tidak merata. Mereka semua adalah anak-anakku, tetapi Engkau mengangkat sebagian menjadi penguasa, sementara sebagian lagi menjadi budak.”
Tuhan menjawab, “Hawa, tidakkah engkau mengerti, adalah penting bagi-Ku menyediakan pekerjaan-pekerjaan di bumi ini melalui anak-anakmu? Jika semua menjadi raja dan ratu, tidak akan ada yang bertani dan menyiapkan makanan bagi mereka.”
“Jika semua menjadi pangeran, lalu siapa yang akan menyediakan pakaian? Setiap orang dianugerahi tugas yang berbeda-beda, dan dalam pandangan-Ku, semua pekerjaan penting.”
“Seperti bagian tubuh saling bergantung dan saling melengkapi, demikian juga semua pekerjaan itu saling bergantung dan saling melengkapi.”
Hawa kemudian berkata, “Ya Tuhan, ampunilah aku. Aku lancang dan berburuk sangka terhadap-Mu.”
Cerita rakyat Jerman ini menyadarkan kita agar tidak meremehkan atau memandang rendah pekerjaan tertentu. Sebab tanpa pekerjaan itu, mungkin pekerjaan kita tidak bisa dilaksanakan secara optimal.
Kita juga semakin menyadari bahwa pekerjaan berbeda-beda agar saling memerhatikan, saling melengkapi.
Di atas semua itu yang terpenting adalah kita belajar bahwa Tuhan bisa memberkati kita melalui apa pun pekerjaan kita dan menjadikan kita berkat melalui pekerjaan kita. —Liana Poedjihastuti
Setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 2/10/2012
==========
30 September 2012
Bukan Kebetulan
“Tidak ada apa-apa yang bisa disajikan untuk makan malam, Suster. Apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah bel makan malam tetap akan dibunyikan seperti biasanya?” tanya suster bagian dapur pada sore itu.
Suster pemimpin panti jompo, yang dikelola oleh biarawati Little Sisters of the Poor, yang menerima laporan dari suster bagian dapur dengan tenang menjawab, “Pergilah ke kapel dan berdoalah suster dan yakinlah, Tuhan mengetahui bahwa orang-orang jompo kita membutuhkan makan malam. Bunyikan bel seperti biasanya pada waktunya.”
Suster dapur segera pergi berdoa di kapel. Waktu pun berlalu. Pada waktu makan malam tiba, dia membunyikan bel dan menunggu dengan ketakutan.
Tidak lama setelah bel itu berbunyi, ada ketukan di pintu biara. Ternyata yang datang adalah utusan sebuah keluarga kaya. Pada hari itu, keluarga kaya tersebut hendak mengadakan pesta, ketika datang berita bahwa seorang anak laki-laki mereka kecelakaan di luar kota.
Saat itu juga mereka harus pergi ke kota di mana putra mereka mengalami kecelakan. Mereka meminta bantuan doa bagi putra mereka dan semua makanan yang sedianya akan disajikan untuk pesta, bersama sejumlah besar uang dikirimkan kepada para biarawati Little Sisters of the Poor itu.
Kebetulan? Tidak ada yang kebetulan bagi orang percaya. Mungkin kita juga pernah mengalami “kebetulan-kebetulan” dalam bentuk yang berbeda. Jika kita peka, maka kita akan menyadari bahwa “kebetulan-kebetulan” itu merupakan pertolongan Tuhan sebagai wujud pemeliharaan Tuhan yang datang tepat pada waktunya. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 30/9/2012 (dipersingkat)
==========
Suster pemimpin panti jompo, yang dikelola oleh biarawati Little Sisters of the Poor, yang menerima laporan dari suster bagian dapur dengan tenang menjawab, “Pergilah ke kapel dan berdoalah suster dan yakinlah, Tuhan mengetahui bahwa orang-orang jompo kita membutuhkan makan malam. Bunyikan bel seperti biasanya pada waktunya.”
(Little Sisters of the Poor)
Suster dapur segera pergi berdoa di kapel. Waktu pun berlalu. Pada waktu makan malam tiba, dia membunyikan bel dan menunggu dengan ketakutan.
Tidak lama setelah bel itu berbunyi, ada ketukan di pintu biara. Ternyata yang datang adalah utusan sebuah keluarga kaya. Pada hari itu, keluarga kaya tersebut hendak mengadakan pesta, ketika datang berita bahwa seorang anak laki-laki mereka kecelakaan di luar kota.
Saat itu juga mereka harus pergi ke kota di mana putra mereka mengalami kecelakan. Mereka meminta bantuan doa bagi putra mereka dan semua makanan yang sedianya akan disajikan untuk pesta, bersama sejumlah besar uang dikirimkan kepada para biarawati Little Sisters of the Poor itu.
Kebetulan? Tidak ada yang kebetulan bagi orang percaya. Mungkin kita juga pernah mengalami “kebetulan-kebetulan” dalam bentuk yang berbeda. Jika kita peka, maka kita akan menyadari bahwa “kebetulan-kebetulan” itu merupakan pertolongan Tuhan sebagai wujud pemeliharaan Tuhan yang datang tepat pada waktunya. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 30/9/2012 (dipersingkat)
==========
28 September 2012
Mengatasi Kemacetan Hidup
Orang-orang metropolitan bergegas meninggalkan apartemen dan rumah mereka, berimpitan di jalan-jalan, ingin segera sampai tujuan. Selain rumah, jalan adalah “hunian” kedua setelah tempat kerja, di mana kemacetan membuat orang tinggal lama di jalan.
Saat orang-orang bergegas segera sampai tujuan, kemacetan seolah menguji kesabaran, dan terus mengusik gelisah. Meski ‘sabar’ tidak lagi signifikan, ‘lambat datang’ sudah takdir, ‘cepat’ tetap saja menjadi obsesi setiap orang di Jakarta.
Kenyataannya kita tidak bisa bergegas, diam meringkuk dalam kemacetan. Kita marah (entah kepada siapa), ingin segera terlepas dari kemacetan yang memenjara, entah lewat jalan mana...
Mungkin saat ini Anda tidak sedang terjebak dalam kemacetan di Jakarta. “Kemacetan” apa pun yang sedang kita hadapi, kita ingin cepat melenggang, tidak sabar, ingin segera terlepas dari stagnasi hidup yang sulit.
Kita merasa hidup ini seakan mandek, stagnan, macet, lambat bergerak. Kita ingin segera ‘mahardika’ dari masalah yang mengikis kesabaran dan terlepas dari masa-masa sulit yang melelahkan.
Kita senantiasa bergegas karena pekerjaan segera mencapai tenggat waktu, tagihan kartu kredit segera jatuh tempo, ‘hot prospect’ harus segera dimenangkan, resepsi pernikahan akan segera digelar, bahkan gigi berlubang pun tidak bisa menunggu lebih lama lagi – harus segera ditambal.
Tuhan tahu kita sedang bergegas. Ia mendengar seruan yang sama setiap detik dari jutaan orang dengan harapan yang sama, “Tuhan, segeralah menolongku! Saat ini juga Tuhan, cepatlah, jangan lambat datang!” Kita merasa cemas ketika Tuhan tidak datang tepat waktu.
Tuhan tahu Anda terjebak dalam kesulitan (seperti Ia juga tahu setiap hari Anda diimpit kemacetan). Kita senantiasa berpacu dengan waktu, tetapi Tuhan tidak terobsesi oleh waktu.
Janji kita selalu dipagari batas waktu, tetapi janji Tuhan tidak ditundukkan waktu. Kita memuja kecepatan, dan Tuhan menguasai kecepatan. Artinya, kita seharusnya luruh dalam waktu Tuhan.
Apa pun situasi kita, tetaplah percaya dan berharap kepada Tuhan. Tidakkah sejauh ini Tuhan tidak lambat datang? Tidakkah Ia sudah berulang kali menolong kita tepat waktu?
Ketika Anda merasa harus segera melepaskan diri dari kesulitan hidup, percayalah Ia tidak sedang menelantarkan Anda. Tuhan sudah memiliki solusi terbaik untuk setiap masalah Anda. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 28/9/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Tuhan, Segeralah Datang!
==========
Saat orang-orang bergegas segera sampai tujuan, kemacetan seolah menguji kesabaran, dan terus mengusik gelisah. Meski ‘sabar’ tidak lagi signifikan, ‘lambat datang’ sudah takdir, ‘cepat’ tetap saja menjadi obsesi setiap orang di Jakarta.
Kenyataannya kita tidak bisa bergegas, diam meringkuk dalam kemacetan. Kita marah (entah kepada siapa), ingin segera terlepas dari kemacetan yang memenjara, entah lewat jalan mana...
Mungkin saat ini Anda tidak sedang terjebak dalam kemacetan di Jakarta. “Kemacetan” apa pun yang sedang kita hadapi, kita ingin cepat melenggang, tidak sabar, ingin segera terlepas dari stagnasi hidup yang sulit.
Kita merasa hidup ini seakan mandek, stagnan, macet, lambat bergerak. Kita ingin segera ‘mahardika’ dari masalah yang mengikis kesabaran dan terlepas dari masa-masa sulit yang melelahkan.
Kita senantiasa bergegas karena pekerjaan segera mencapai tenggat waktu, tagihan kartu kredit segera jatuh tempo, ‘hot prospect’ harus segera dimenangkan, resepsi pernikahan akan segera digelar, bahkan gigi berlubang pun tidak bisa menunggu lebih lama lagi – harus segera ditambal.
Tuhan tahu kita sedang bergegas. Ia mendengar seruan yang sama setiap detik dari jutaan orang dengan harapan yang sama, “Tuhan, segeralah menolongku! Saat ini juga Tuhan, cepatlah, jangan lambat datang!” Kita merasa cemas ketika Tuhan tidak datang tepat waktu.
Tuhan tahu Anda terjebak dalam kesulitan (seperti Ia juga tahu setiap hari Anda diimpit kemacetan). Kita senantiasa berpacu dengan waktu, tetapi Tuhan tidak terobsesi oleh waktu.
Janji kita selalu dipagari batas waktu, tetapi janji Tuhan tidak ditundukkan waktu. Kita memuja kecepatan, dan Tuhan menguasai kecepatan. Artinya, kita seharusnya luruh dalam waktu Tuhan.
Apa pun situasi kita, tetaplah percaya dan berharap kepada Tuhan. Tidakkah sejauh ini Tuhan tidak lambat datang? Tidakkah Ia sudah berulang kali menolong kita tepat waktu?
Ketika Anda merasa harus segera melepaskan diri dari kesulitan hidup, percayalah Ia tidak sedang menelantarkan Anda. Tuhan sudah memiliki solusi terbaik untuk setiap masalah Anda. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 28/9/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Tuhan, Segeralah Datang!
==========
24 September 2012
Tuhan Peduli
Banyak di antara kita saat ini yang galau dan putus asa menghadapi berbagai macam persoalan. Sudah lama mengalami masalah, sudah berdoa sekian lama, tetapi belum juga ada pertolongan Tuhan. “Capek deh.”
Karenanya lalu mempertanyakan keberadaan Tuhan. “Apakah Tuhan benar-benar ada? Kalau Dia ada, di manakah Dia saat ini? Mengapa tidak menolong aku?”
Jauh sebelumnya, filsuf Epikurus (tahun 342-270 SM) mengajukan pertanyaan, “Apakah Tuhan mau menyingkirkan kejahatan tapi Ia tidak mampu; atau Ia mampu tapi tidak mau; atau Ia tidak mau dan juga tidak mampu; atau Ia mampu dan juga mau.”
“Jika Ia MAU tapi TIDAK MAMPU, Ia lemah, yang berarti tidak sesuai dengan sifat Tuhan (Mahakuasa).”
“Jika Ia MAMPU tapi TIDAK MAU, Ia jahat, berarti juga tidak sesuai dengan sifat-Nya (Mahabaik).”
“Jika Ia TIDAK MAU dan juga TIDAK MAMPU, Ia jahat dan lemah sekaligus, berarti Ia bukanlah Tuhan.”
“Jika Ia MAU dan MAMPU, yang merupakan sifat paling cocok untuk-Nya, lalu dari manakah asal semua kejahatan dan penderitaan manusia? Atau mengapa Ia tidak menyingkirkan kejahatan dan penderitaan tersebut?”
Penderitaan manusia bisa disebabkan oleh diri sendiri, dijahati orang lain, diserang iblis, demi kebaikan orang lain, dan untuk memuliakan Tuhan.
Marilah kita renungkan: Apakah masalah atau penderitaan yang sedang kita alami saat ini karena kesalahan kita sendiri? Atau karena dijahati orang lain? Atau demi kebaikan orang lain? Atau karena iblis menyerang kita? Atau untuk kemuliaan Tuhan?
Kita mungkin tidak akan pernah mengetahuinya, tetapi marilah kita imani dan amini bahwa semuanya diizinkan Tuhan terjadi dalam hidup kita untuk kebaikan kita.
Sesungguhnya Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.
Memang akan selalu ada masalah, tetapi juga ada Tuhan yang selalu peduli. Tuhan itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 24/9/2012 (diedit seperlunya)
==========
Karenanya lalu mempertanyakan keberadaan Tuhan. “Apakah Tuhan benar-benar ada? Kalau Dia ada, di manakah Dia saat ini? Mengapa tidak menolong aku?”
Jauh sebelumnya, filsuf Epikurus (tahun 342-270 SM) mengajukan pertanyaan, “Apakah Tuhan mau menyingkirkan kejahatan tapi Ia tidak mampu; atau Ia mampu tapi tidak mau; atau Ia tidak mau dan juga tidak mampu; atau Ia mampu dan juga mau.”
“Jika Ia MAU tapi TIDAK MAMPU, Ia lemah, yang berarti tidak sesuai dengan sifat Tuhan (Mahakuasa).”
“Jika Ia MAMPU tapi TIDAK MAU, Ia jahat, berarti juga tidak sesuai dengan sifat-Nya (Mahabaik).”
“Jika Ia TIDAK MAU dan juga TIDAK MAMPU, Ia jahat dan lemah sekaligus, berarti Ia bukanlah Tuhan.”
“Jika Ia MAU dan MAMPU, yang merupakan sifat paling cocok untuk-Nya, lalu dari manakah asal semua kejahatan dan penderitaan manusia? Atau mengapa Ia tidak menyingkirkan kejahatan dan penderitaan tersebut?”
Penderitaan manusia bisa disebabkan oleh diri sendiri, dijahati orang lain, diserang iblis, demi kebaikan orang lain, dan untuk memuliakan Tuhan.
Marilah kita renungkan: Apakah masalah atau penderitaan yang sedang kita alami saat ini karena kesalahan kita sendiri? Atau karena dijahati orang lain? Atau demi kebaikan orang lain? Atau karena iblis menyerang kita? Atau untuk kemuliaan Tuhan?
Kita mungkin tidak akan pernah mengetahuinya, tetapi marilah kita imani dan amini bahwa semuanya diizinkan Tuhan terjadi dalam hidup kita untuk kebaikan kita.
Sesungguhnya Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.
Memang akan selalu ada masalah, tetapi juga ada Tuhan yang selalu peduli. Tuhan itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 24/9/2012 (diedit seperlunya)
==========
12 September 2012
Telapak Tangan
Avenue of Stars, Hong Kong, yang mencontoh Hollywood Walk of Fame di Los Angeles, adalah jalur jalan (promenade) yang terletak di sepanjang Jalan Victoria Harbour di Tsim Sha Tsui.
Di atas jalur ini terdapat handprint (cap tangan) insan perfilman Hong Kong. Memang tempat ini dibangun sebagai penghargaan kepada para pesohor di industri perfilman Hong Kong.
Pada saat dibuka untuk umum tanggal 28 April 2004 terdapat 73 cap tangan pesohor yang diseleksi oleh Hong Kong Film Award Association dan para pembaca City Entertainment. Kini jumlah cap tangan insan perfilman Hong Kong yang ada di tempat itu telah mencapai lebih dari 100 buah.
Kebanyakan orang mengunjungi Avenue of Stars pada malam hari, sebab tempat ini lebih menawan ketika malam menjelang karena binar-binar cahaya lampu yang berasal dari gedung-gedung di daerah Wanchai, yang terletak di seberang Avenue of Stars, memberi kesan glamour dan eksotis.
Ada pula atraksi dari beberapa kapal feri yang juga berhias kerlap-kerlip lampu warna-warni. Kolaborasi binar-binar dan kerlap-kerlip lampu di malam hari ini disebut Symphony of Light. Pengunjung bisa naik salah satu kapal feri tersebut, melihat pesona Hong Kong, the best waterfront city in the world, di waktu malam.
Ketika berkunjung ke Hong Kong, pada umumnya wisatawan tidak akan melewatkan tempat yang satu ini. Tentu saja tidak semua orang, bahkan yang pernah ke Hong Kong sekalipun, sempat mengunjunginya karena berbagai alasan. Tetapi, tidak perlu berkecil hati.
Yang lebih penting dari itu adalah pastikan Anda berada di telapak tangan Tuhan. Itu berarti kita senantiasa dilindungi oleh-Nya. Melewati badai kehidupan yang paling dahsyat sekalipun, kita boleh yakin bahwa hidup kita aman dan terjamin dalam tangan Tuhan. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 12/9/12 (diedit seperlunya)
==========
Di atas jalur ini terdapat handprint (cap tangan) insan perfilman Hong Kong. Memang tempat ini dibangun sebagai penghargaan kepada para pesohor di industri perfilman Hong Kong.
Pada saat dibuka untuk umum tanggal 28 April 2004 terdapat 73 cap tangan pesohor yang diseleksi oleh Hong Kong Film Award Association dan para pembaca City Entertainment. Kini jumlah cap tangan insan perfilman Hong Kong yang ada di tempat itu telah mencapai lebih dari 100 buah.
Kebanyakan orang mengunjungi Avenue of Stars pada malam hari, sebab tempat ini lebih menawan ketika malam menjelang karena binar-binar cahaya lampu yang berasal dari gedung-gedung di daerah Wanchai, yang terletak di seberang Avenue of Stars, memberi kesan glamour dan eksotis.
Ada pula atraksi dari beberapa kapal feri yang juga berhias kerlap-kerlip lampu warna-warni. Kolaborasi binar-binar dan kerlap-kerlip lampu di malam hari ini disebut Symphony of Light. Pengunjung bisa naik salah satu kapal feri tersebut, melihat pesona Hong Kong, the best waterfront city in the world, di waktu malam.
Ketika berkunjung ke Hong Kong, pada umumnya wisatawan tidak akan melewatkan tempat yang satu ini. Tentu saja tidak semua orang, bahkan yang pernah ke Hong Kong sekalipun, sempat mengunjunginya karena berbagai alasan. Tetapi, tidak perlu berkecil hati.
Yang lebih penting dari itu adalah pastikan Anda berada di telapak tangan Tuhan. Itu berarti kita senantiasa dilindungi oleh-Nya. Melewati badai kehidupan yang paling dahsyat sekalipun, kita boleh yakin bahwa hidup kita aman dan terjamin dalam tangan Tuhan. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 12/9/12 (diedit seperlunya)
==========
08 September 2012
Bersyukur
Kita tentu sepakat bahwa kehidupan yang dijalani oleh setiap manusia di dunia ini tidak selamanya berjalan mulus dan menyenangkan.
Ibaratnya seperti roda, terkadang berada di atas – saat kita mengalami berbagai hal yang menyenangkan seperti keberhasilan ataupun kebahagiaan. Tetapi, adakalanya juga kita berada di bawah – saat kita mengalami sakit, dukacita, ataupun kegagalan.
Namun demikian, itulah yang dinamakan kehidupan, yaitu penuh dengan lika-liku. Sehingga, seharusnya manusia pantang untuk menganggap posisi yang satu lebih baik daripada posisi yang lain, sebab jika tidak ada yang satu di antara yang lain, hidup akan menjadi hambar.
Ibaratnya kalau kita terus-menerus minum minuman yang manis, belum pernah merasakan minuman yang tawar, asam, asin, ataupun pahit, bukankah minuman yang manis tersebut akan terasa biasa saja dan tidak ada istimewanya sama sekali?
Demikian pula dengan kehidupan ini. Jika kita terus berada dalam posisi yang menyenangkan, tanpa pernah sedikit pun mengalami masa-masa sulit dan penuh penderitaan, bukankah kesenangan yang kita dapatkan tersebut menjadi hambar rasanya?
Sebaliknya, jika suatu saat kita diperhadapkan pada masa-masa sulit dan berat, kemudian suatu saat kita mengalami masa-masa yang menyenangkan, bukankah masa-masa menyenangkan tersebut menjadi indah sekali?
Oleh sebab itu, marilah kita senantiasa hidup dalam ucapan syukur. Ya, ucapan syukur dalam segala hal, sebab orang yang senantiasa bersyukur, pasti mampu menghargai kebahagiaan sekecil apa pun di dalam hidupnya.
Ia pasti tidak akan pernah berhenti berusaha untuk berbuat sesuatu, manakala ia mengalami kegagalan atau kesedihan sekalipun. Dengan demikian, maka hidup yang dijalani pasti penuh makna, karena hidupnya dipenuhi dengan ketenteraman dan kebahagiaan.
Sebuah kalimat bijak berbunyi, “Mengucap syukur dalam segala hal adalah sangat dikehendaki dan diperkenan oleh Tuhan.” —Pdt. David Nugrahaning Widi
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 27/4/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Mengucap Syukurlah
==========
Ibaratnya seperti roda, terkadang berada di atas – saat kita mengalami berbagai hal yang menyenangkan seperti keberhasilan ataupun kebahagiaan. Tetapi, adakalanya juga kita berada di bawah – saat kita mengalami sakit, dukacita, ataupun kegagalan.
Namun demikian, itulah yang dinamakan kehidupan, yaitu penuh dengan lika-liku. Sehingga, seharusnya manusia pantang untuk menganggap posisi yang satu lebih baik daripada posisi yang lain, sebab jika tidak ada yang satu di antara yang lain, hidup akan menjadi hambar.
Ibaratnya kalau kita terus-menerus minum minuman yang manis, belum pernah merasakan minuman yang tawar, asam, asin, ataupun pahit, bukankah minuman yang manis tersebut akan terasa biasa saja dan tidak ada istimewanya sama sekali?
Demikian pula dengan kehidupan ini. Jika kita terus berada dalam posisi yang menyenangkan, tanpa pernah sedikit pun mengalami masa-masa sulit dan penuh penderitaan, bukankah kesenangan yang kita dapatkan tersebut menjadi hambar rasanya?
Sebaliknya, jika suatu saat kita diperhadapkan pada masa-masa sulit dan berat, kemudian suatu saat kita mengalami masa-masa yang menyenangkan, bukankah masa-masa menyenangkan tersebut menjadi indah sekali?
Oleh sebab itu, marilah kita senantiasa hidup dalam ucapan syukur. Ya, ucapan syukur dalam segala hal, sebab orang yang senantiasa bersyukur, pasti mampu menghargai kebahagiaan sekecil apa pun di dalam hidupnya.
Ia pasti tidak akan pernah berhenti berusaha untuk berbuat sesuatu, manakala ia mengalami kegagalan atau kesedihan sekalipun. Dengan demikian, maka hidup yang dijalani pasti penuh makna, karena hidupnya dipenuhi dengan ketenteraman dan kebahagiaan.
Sebuah kalimat bijak berbunyi, “Mengucap syukur dalam segala hal adalah sangat dikehendaki dan diperkenan oleh Tuhan.” —Pdt. David Nugrahaning Widi
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 27/4/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Mengucap Syukurlah
==========
06 September 2012
Landak
Landak, binatang yang buruk badannya namun mempunyai keunikan tersendiri.
Binatang ini berpindah-pindah tempat. Bisa berdiam di lubang-lubang batang pohon, bisa di bawah tanaman, bahkan bisa diam di antara tumpukan batu-batu.
Jika diganggu atau terancam, ia akan menggali tanah dengan keempat kakinya, dan berhenti menggali bila separuh lebih badannya sudah terkubur.
Landak mencongkel tanah dengan cakarnya untuk mencari semut, rayap, dan serangga kecil untuk dimakan.
Ia cukup kuat untuk membalikkan batu seukuran lebih dari dua kali berat tubuhnya.
Landak binatang berduri, tetapi gampang menyesuaikan diri. Apa yang menarik dari binatang ini buat kita?
Binatang berduri ini terlahir sedemikian rupa, namun ia tetap beraktivitas tanpa terganggu oleh durinya. Apakah Anda sedang membawa “duri dalam daging” yang membuat hidup tidak nyaman?
Mungkin Anda lebih beruntung daripada landak yang tiap hari harus membawa durinya. Bila hidup Anda sedang “berduri”, belajarlah untuk mengetahui kehendak Tuhan, mengapa Tuhan izinkan terjadi?
Ke mana saja landak membawa duri, dan berdamai dengan duri-durinya. Jika ada predator, landak mengalah dengan mencari perlindungan. Padahal bulu-bulu durinya bisa digunakan sebagai senjata, namun landak memakainya sebagai keunikan tubuhnya saja.
Belajarlah untuk berdamai dengan “duri-duri” yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita.
Ke mana saja landak selalu punya cara untuk mencari jalan keluar. Landak bisa berada di segala tempat, dan mengubur diri bila hidupnya terancam. Binatang ini punya banyak cara untuk mencari jalan keluar bila menghadapi masalah.
Jangan putus asa ketika menghadapi masalah, tetapi carilah jalan keluar dengan pertolongan Tuhan.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 6/9/12 (diedit seperlunya)
==========
Binatang ini berpindah-pindah tempat. Bisa berdiam di lubang-lubang batang pohon, bisa di bawah tanaman, bahkan bisa diam di antara tumpukan batu-batu.
Jika diganggu atau terancam, ia akan menggali tanah dengan keempat kakinya, dan berhenti menggali bila separuh lebih badannya sudah terkubur.
Landak mencongkel tanah dengan cakarnya untuk mencari semut, rayap, dan serangga kecil untuk dimakan.
Ia cukup kuat untuk membalikkan batu seukuran lebih dari dua kali berat tubuhnya.
Landak binatang berduri, tetapi gampang menyesuaikan diri. Apa yang menarik dari binatang ini buat kita?
Binatang berduri ini terlahir sedemikian rupa, namun ia tetap beraktivitas tanpa terganggu oleh durinya. Apakah Anda sedang membawa “duri dalam daging” yang membuat hidup tidak nyaman?
Mungkin Anda lebih beruntung daripada landak yang tiap hari harus membawa durinya. Bila hidup Anda sedang “berduri”, belajarlah untuk mengetahui kehendak Tuhan, mengapa Tuhan izinkan terjadi?
Ke mana saja landak membawa duri, dan berdamai dengan duri-durinya. Jika ada predator, landak mengalah dengan mencari perlindungan. Padahal bulu-bulu durinya bisa digunakan sebagai senjata, namun landak memakainya sebagai keunikan tubuhnya saja.
Belajarlah untuk berdamai dengan “duri-duri” yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita.
Ke mana saja landak selalu punya cara untuk mencari jalan keluar. Landak bisa berada di segala tempat, dan mengubur diri bila hidupnya terancam. Binatang ini punya banyak cara untuk mencari jalan keluar bila menghadapi masalah.
Jangan putus asa ketika menghadapi masalah, tetapi carilah jalan keluar dengan pertolongan Tuhan.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 6/9/12 (diedit seperlunya)
==========
31 Agustus 2012
Jangan Berhenti
Dongeng tentang pemain piano Ignace Paderewski ini dikisahkan oleh Darrel L. Anderson. Seorang ibu ingin putranya yang baru belajar piano bisa mahir bermain piano, maka ia membeli tiket untuk menonton pertunjukan Paderewski.
Ibu dan anak itu duduk di depan dekat panggung konser. Di saat ibu tersebut bercakap-cakap dengan seseorang, putranya menyelinap pergi.
Tiba saatnya konser akan dimulai, lampu sorot dinyalakan. Pada saat itulah para penonton melihat di panggung seorang anak laki-laki duduk di hadapan piano dan dengan tanpa rasa besalah segera memainkan lagu “Twinkle, Twinkle Little Star”.
Sang maestro, Ignace Paderewski, muncul di panggung dan menuju ke piano itu. Anak itu akan berhenti bermain, tetapi bisik Paderewski: “Jangan berhenti. Bermainlah terus.”
Sambil mendekat Paderewski mengulurkan tangan kirinya dan mulai memainkan bass. Tangan kanannya juga diulurkan melingkari tubuh anak kecil itu, dan memainkan obbligato. Sang maestro dan anak kecil pemula itu bermain besama-sama, membuat para penonton terpesona.
Dalam kehidupan ini, mungkin kita juga seorang pemula dalam bekerja dan melayani. Kita merasa khawatir, merasa takut jika melakukan kesalahan atau tidak berhasil.
Sebaliknya mungkin kita adalah ‘pemain lama’ yang telah jemu dan lelah menjalani kehidupan ini. Kita merasa lungkrah (lemah, capai, letih, lelah). Kita berjalan terseok-seok dalam pelayanan, dalam karya, dalam menjalani hidup ini. Kadang kita merasa tidak dihargai, mengalami stagnasi, lantas ingin berhenti.
Tetapi Sang Maestro kehidupan juga berbisik kepada kita, “Teruslah melangkah, jangan berhenti. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, teruslah melayani, teruslah mengasihi, teruslah menjalani kehidupan ini.”
Dan bila kita terus melangkah, Dia akan menambah dan melengkapi sehingga sebuah karya yang sangat indah tercipta, menjadi berkat bagi sesama, dan memuliakan nama-Nya.
Jika kita tetap setia hingga ajal menjemput, Ia akan mengaruniakan kepada kita mahkota kehidupan. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 31/8/12 (diedit seperlunya)
==========
Ibu dan anak itu duduk di depan dekat panggung konser. Di saat ibu tersebut bercakap-cakap dengan seseorang, putranya menyelinap pergi.
Tiba saatnya konser akan dimulai, lampu sorot dinyalakan. Pada saat itulah para penonton melihat di panggung seorang anak laki-laki duduk di hadapan piano dan dengan tanpa rasa besalah segera memainkan lagu “Twinkle, Twinkle Little Star”.
Sang maestro, Ignace Paderewski, muncul di panggung dan menuju ke piano itu. Anak itu akan berhenti bermain, tetapi bisik Paderewski: “Jangan berhenti. Bermainlah terus.”
Sambil mendekat Paderewski mengulurkan tangan kirinya dan mulai memainkan bass. Tangan kanannya juga diulurkan melingkari tubuh anak kecil itu, dan memainkan obbligato. Sang maestro dan anak kecil pemula itu bermain besama-sama, membuat para penonton terpesona.
Dalam kehidupan ini, mungkin kita juga seorang pemula dalam bekerja dan melayani. Kita merasa khawatir, merasa takut jika melakukan kesalahan atau tidak berhasil.
Sebaliknya mungkin kita adalah ‘pemain lama’ yang telah jemu dan lelah menjalani kehidupan ini. Kita merasa lungkrah (lemah, capai, letih, lelah). Kita berjalan terseok-seok dalam pelayanan, dalam karya, dalam menjalani hidup ini. Kadang kita merasa tidak dihargai, mengalami stagnasi, lantas ingin berhenti.
Tetapi Sang Maestro kehidupan juga berbisik kepada kita, “Teruslah melangkah, jangan berhenti. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, teruslah melayani, teruslah mengasihi, teruslah menjalani kehidupan ini.”
Dan bila kita terus melangkah, Dia akan menambah dan melengkapi sehingga sebuah karya yang sangat indah tercipta, menjadi berkat bagi sesama, dan memuliakan nama-Nya.
Jika kita tetap setia hingga ajal menjemput, Ia akan mengaruniakan kepada kita mahkota kehidupan. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 31/8/12 (diedit seperlunya)
==========
27 Agustus 2012
Bangkit dari Keterpurukan
Seorang pria berkebangsaan Inggris melompat dari Menara Eiffel di Kota Paris, Prancis pada hari Minggu, 24 Juni 2012 yang lalu. Ia jatuh dari ketinggian 320 meter. Polisi sudah membujuknya, tetapi ia tetap nekat terjun bebas tanpa payung.
Beberapa jam kemudian, seorang wanita, 30 tahun menyusul, namun berhasil dibujuk dan dievakuasi dengan helikopter. Menara Eiffel menjadi tempat wisata, tetapi juga menjadi tempat favorit untuk bunuh diri. Setiap hari kira-kira ada 20 ribu turis datang ke sana.
Jalan pintas saat ini seolah-olah menjadi cara terbaik untuk mengakhiri hidup, karena dunia seakan tidak bersahabat lagi. Kiat apa agar kita tidak cepat putus asa ketika beban hidup semakin berat menindih kita?
Masih ada kekuatan di luar kemampuan kita yang terbatas. Cobalah keluar dari diri sendiri dan melihat ke sekeliling dan ke atas. Artinya mungkin keadaan kita sebenarnya lebih baik daripada orang lain yang kita lihat. Cara ini akan memudahkan kita untuk hidup bersyukur.
Dan lihatlah ke atas, di sana ada Tuhan yang tak kelihatan namun peduli atas hidup umat-Nya. Dengan cara menyadari masih ada kekuatan di luar kemampuan kita, maka kita akan terhindar dari putus asa yang tak terkendali.
Kejatuhan bukan akhir segala-galanya. Dua orang terjun dari Menara Eiffel, yang satu selamat, dan yang satu tewas. Semua tergantung sikap kita menyambut tawaran bagaimana menghadapi hidup ini.
Kalau Anda sedang dalam posisi jatuh, segeralah bangun karena masih ada yang mau menyelamatkan Anda. Jangan terpuruk dan tinggal diam menyesali apa yang telah terjadi.
Buatlah bubur menjadi makanan yang lezat. Zaman ini bubur bisa diolah menjadi makanan yang lezat dengan ditambahkan bermacam bumbu. Demikianlah hidup ini tidak untuk ditangisi, tetapi untuk dihadapi dengan semangat baru.
Masih ada jalan terbuka untuk bercerita tentang perjalanan hidup yang penuh suka duka ini kepada generasi selanjutnya. Kalau perlu buatlah biografi agar dapat dibaca banyak orang. Setuju? —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 27/8/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Nasi Menjadi Bubur
==========
Beberapa jam kemudian, seorang wanita, 30 tahun menyusul, namun berhasil dibujuk dan dievakuasi dengan helikopter. Menara Eiffel menjadi tempat wisata, tetapi juga menjadi tempat favorit untuk bunuh diri. Setiap hari kira-kira ada 20 ribu turis datang ke sana.
Jalan pintas saat ini seolah-olah menjadi cara terbaik untuk mengakhiri hidup, karena dunia seakan tidak bersahabat lagi. Kiat apa agar kita tidak cepat putus asa ketika beban hidup semakin berat menindih kita?
Masih ada kekuatan di luar kemampuan kita yang terbatas. Cobalah keluar dari diri sendiri dan melihat ke sekeliling dan ke atas. Artinya mungkin keadaan kita sebenarnya lebih baik daripada orang lain yang kita lihat. Cara ini akan memudahkan kita untuk hidup bersyukur.
Dan lihatlah ke atas, di sana ada Tuhan yang tak kelihatan namun peduli atas hidup umat-Nya. Dengan cara menyadari masih ada kekuatan di luar kemampuan kita, maka kita akan terhindar dari putus asa yang tak terkendali.
Kejatuhan bukan akhir segala-galanya. Dua orang terjun dari Menara Eiffel, yang satu selamat, dan yang satu tewas. Semua tergantung sikap kita menyambut tawaran bagaimana menghadapi hidup ini.
Kalau Anda sedang dalam posisi jatuh, segeralah bangun karena masih ada yang mau menyelamatkan Anda. Jangan terpuruk dan tinggal diam menyesali apa yang telah terjadi.
Buatlah bubur menjadi makanan yang lezat. Zaman ini bubur bisa diolah menjadi makanan yang lezat dengan ditambahkan bermacam bumbu. Demikianlah hidup ini tidak untuk ditangisi, tetapi untuk dihadapi dengan semangat baru.
Masih ada jalan terbuka untuk bercerita tentang perjalanan hidup yang penuh suka duka ini kepada generasi selanjutnya. Kalau perlu buatlah biografi agar dapat dibaca banyak orang. Setuju? —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 27/8/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Nasi Menjadi Bubur
==========
24 Agustus 2012
Penyebab Khawatir
Seseorang pernah menulis demikian: "Jika makanan disadari sebagai penyambung hidup, bukan untuk memenuhi dan mengejar selera makan, masihkah manusia khawatir? Jika pakaian awalnya adalah untuk menutupi ketelanjangan, bukan untuk menghias tubuh, masihkah manusia khawatir?"
Dalam kenyataannya, rasa khawatir kerap menggeser rasa syukur yang seharusnya ada ketika kebutuhan-kebutuhan dasar kita terpenuhi.
Mari kita lihat kehidupan dua makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Burung yang tidak punya akal untuk membuat dan menyimpan makanan seperti manusia, tetapi diberi makan oleh Tuhan.
Bunga bakung yang termasuk golongan bunga Anemon liar, tak punya kreativitas menenun bahan pakaian seperti manusia, tetapi Tuhan menghiasinya dengan keindahan yang lebih dari pakaian seorang raja.
Betapa Tuhan memerhatikan segala ciptaan-Nya, bahkan yang lemah dan luput dari pengamatan manusia. Jika kita masih meragukan pemeliharaan Tuhan yang demikian detail, maka tak heran jika kita disebut sebagai orang yang kurang percaya.
Kekhawatiran bisa menghantui ketika kebutuhan sudah beralih fungsi untuk memenuhi keinginan dan kepuasan diri. Kita menetapkan standar sendiri, lalu gelisah ketika Tuhan tidak memenuhinya.
Hidup tidak lagi dijalani untuk Tuhan yang menciptakan kita dan bergantung pada pemeliharaan-Nya, tetapi untuk memenuhi hasrat diri dan cara yang kita ingini. Apakah hal tersebut yang menyebabkan kekhawatiran Anda hari ini? --JAP
* * *
Sumber: e-RH, 24/8/12 (diedit seperlunya)
==========
Dalam kenyataannya, rasa khawatir kerap menggeser rasa syukur yang seharusnya ada ketika kebutuhan-kebutuhan dasar kita terpenuhi.
Mari kita lihat kehidupan dua makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Burung yang tidak punya akal untuk membuat dan menyimpan makanan seperti manusia, tetapi diberi makan oleh Tuhan.
Bunga bakung yang termasuk golongan bunga Anemon liar, tak punya kreativitas menenun bahan pakaian seperti manusia, tetapi Tuhan menghiasinya dengan keindahan yang lebih dari pakaian seorang raja.
Betapa Tuhan memerhatikan segala ciptaan-Nya, bahkan yang lemah dan luput dari pengamatan manusia. Jika kita masih meragukan pemeliharaan Tuhan yang demikian detail, maka tak heran jika kita disebut sebagai orang yang kurang percaya.
Kekhawatiran bisa menghantui ketika kebutuhan sudah beralih fungsi untuk memenuhi keinginan dan kepuasan diri. Kita menetapkan standar sendiri, lalu gelisah ketika Tuhan tidak memenuhinya.
Hidup tidak lagi dijalani untuk Tuhan yang menciptakan kita dan bergantung pada pemeliharaan-Nya, tetapi untuk memenuhi hasrat diri dan cara yang kita ingini. Apakah hal tersebut yang menyebabkan kekhawatiran Anda hari ini? --JAP
* * *
Sumber: e-RH, 24/8/12 (diedit seperlunya)
==========
20 Juni 2012
Jangan Percaya Bujuk Rayu
Konon, seorang pemuda Indian Merah mendaki sebuah gunung yang tinggi untuk menguji tingkat kedewasaannya. Sesampai di puncak gunung, tak dapat dilukiskan perasaannya. Ia merasa seakan-akan berdiri di tepi dunia. Serasa ia telah menaklukkan dunia. Ia bangga sekali.
Ketika sedang dimabuk keberhasilannya itu, tiba-tiba ia mendengar suara gemerisik di sekitar kakinya, dan ketika ia melihat ke kakinya, ia melihat seekor ular berbisa. Ia bermaksud menghindar, tetapi sebelum melakukan usaha apa pun, terdengar ular itu berkata, “Jangan takut, aku tidak akan melukaimu. Aku sangat lapar dan akan mati kedinginan di sini. Masukkan aku ke dalam bajumu dan bawalah aku ke lembah.”
“Tidak,” jawab pemuda Indian Merah itu. “Engkau sangat berbisa. Jika aku membopongmu, pastilah engkau akan memagut aku dan bisamu akan menewaskan aku.” Dengan segera si ular berkata, “Ah, mana boleh begitu, bagaimana aku bisa berbuat seperti itu kepadamu yang akan menolongku. Engkau akan kuperlakukan secara istimewa. Percayalah kepadaku, aku tidak akan melukaimu.”
Untuk beberapa saat pemuda itu menolak. Namun bujuk rayu ular itu sangat memikat, mengiba-iba, menimbulkan belas kasihan pemuda itu. Akhirnya pemuda itu memungut ular itu dan memasukkannya ke dalam bajunya. Sesampai di lembah, ia mengeluarkan ular itu dan dengan lembut membaringkannya di atas rumput. Serta merta ular itu melompat dan memagut kaki pemuda itu. Pemuda itu menjerit dan berkata, “Engkau sudah berjanji, engkau sudah berjanji....” Tetapi jawab ular, “Engkau juga sudah tahu sifatku sebelum engkau menjamah aku.” Lalu si ular menyelinap pergi.
Menurut Iron Eyes Cody, aktor Amerika, keturunan imigran dari Sisilia, yang dihormati suku Indian karena kepeduliannya kepada mereka, penutur kisah ini, sampai sekarang suku bangsa Indian Merah secara turun-termurun menceritakan kisah ini kepada kaum mudanya agar tidak mudah tergoda pada nakotika dan minuman beralkohol. Selalu diucapkan kata-kata ular berbisa itu: “Engkau sudah tahu sifatku sebelum engkau menjamah aku.”
Memang tak ada untungnya sedikit pun memberi kesempatan kepada dosa. Cerita ini memperingatkan dan mengingatkan kita untuk jangan pernah sekali-kali terpikat oleh bujuk rayu dosa. Manis saat membujuk, fatal akibatnya. Sekali-kali jangan kita tergoda mulut manis berbisa. Jangan pernah merasa kasihan terhadap setan atau dosa. Ingatlah selalu nasihat rasul Petrus, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh...” (1 Petrus 5:8-9). —Liana Poedjihastuti
* * *
Judul asli: Jangan Percaya
Sumber: KristusHidup.com, 20/6/12
==========
Ketika sedang dimabuk keberhasilannya itu, tiba-tiba ia mendengar suara gemerisik di sekitar kakinya, dan ketika ia melihat ke kakinya, ia melihat seekor ular berbisa. Ia bermaksud menghindar, tetapi sebelum melakukan usaha apa pun, terdengar ular itu berkata, “Jangan takut, aku tidak akan melukaimu. Aku sangat lapar dan akan mati kedinginan di sini. Masukkan aku ke dalam bajumu dan bawalah aku ke lembah.”
“Tidak,” jawab pemuda Indian Merah itu. “Engkau sangat berbisa. Jika aku membopongmu, pastilah engkau akan memagut aku dan bisamu akan menewaskan aku.” Dengan segera si ular berkata, “Ah, mana boleh begitu, bagaimana aku bisa berbuat seperti itu kepadamu yang akan menolongku. Engkau akan kuperlakukan secara istimewa. Percayalah kepadaku, aku tidak akan melukaimu.”
Untuk beberapa saat pemuda itu menolak. Namun bujuk rayu ular itu sangat memikat, mengiba-iba, menimbulkan belas kasihan pemuda itu. Akhirnya pemuda itu memungut ular itu dan memasukkannya ke dalam bajunya. Sesampai di lembah, ia mengeluarkan ular itu dan dengan lembut membaringkannya di atas rumput. Serta merta ular itu melompat dan memagut kaki pemuda itu. Pemuda itu menjerit dan berkata, “Engkau sudah berjanji, engkau sudah berjanji....” Tetapi jawab ular, “Engkau juga sudah tahu sifatku sebelum engkau menjamah aku.” Lalu si ular menyelinap pergi.
Menurut Iron Eyes Cody, aktor Amerika, keturunan imigran dari Sisilia, yang dihormati suku Indian karena kepeduliannya kepada mereka, penutur kisah ini, sampai sekarang suku bangsa Indian Merah secara turun-termurun menceritakan kisah ini kepada kaum mudanya agar tidak mudah tergoda pada nakotika dan minuman beralkohol. Selalu diucapkan kata-kata ular berbisa itu: “Engkau sudah tahu sifatku sebelum engkau menjamah aku.”
Memang tak ada untungnya sedikit pun memberi kesempatan kepada dosa. Cerita ini memperingatkan dan mengingatkan kita untuk jangan pernah sekali-kali terpikat oleh bujuk rayu dosa. Manis saat membujuk, fatal akibatnya. Sekali-kali jangan kita tergoda mulut manis berbisa. Jangan pernah merasa kasihan terhadap setan atau dosa. Ingatlah selalu nasihat rasul Petrus, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh...” (1 Petrus 5:8-9). —Liana Poedjihastuti
* * *
Judul asli: Jangan Percaya
Sumber: KristusHidup.com, 20/6/12
==========
08 Juni 2012
Si Pandir
Si Pandir bingung. Ia diundang ke dua undangan pesta pada hari dan jam yang sama. Pesta di Utara terkenal sangat lezat hidangannya, tetapi sayang terlalu sedikit porsi yang disajikan. Pesta di Selatan, wah, luar biasa banyak hidangan yang bisa disantap, tetapi makanan di sana tak begitu enak, hambar.
Si Pandir mondar-mandir dari Selatan menuju Utara, balik ke Selatan lagi, berputar kembali ke Utara. Ia tidak bisa memutuskan. Si Pandir yang bimbang akhirnya memburu langkah ke Utara, tetapi terlambat, pesta sudah rampung. Lalu ia balik ke Selatan, mengejar waktu, sesampai di sana, hidangan pun habis, tak ada lagi yang tersisa. Si Pandir gigit jari. Ia kehabisan waktu, kedua pesta itu sudah usai.
Kisah Si Pandir saya baca dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia tahun 1970-an sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Kisah ini membekas dalam hati saya, karena sebagai anak kecil, saya juga tergugah untuk bertanya, mana yang akan kupilih? Inilah conflict of interest yang sering merancukan kehidupan kita.
Sesekali kita pernah dihadapkan pada pilihan dikotomis, antara harga mahal mutu bagus atau kapasitas gede yang murah meriah. Mau pilih pacar gagah tampan agak mata keranjang ataukah pacar rupa culun yang setianya selangit? Mau menjadi manusia idealis yang hidup pas-pasan atau si pragmatis yang kaya raya?
Nah, ada juga yang bimbang, ikut Tuhan dan harus melalui jalan terjal, atau yang penting hidup nyaman dan nikmat. Mungkin pilihan-pilihan yang kita hadapi sehari-hari tidak selalu dikotomis, tetapi tetap saja kita sering kesulitan bersikap. Kita sering merasakan adanya benturan kepentingan saat kita mengambil keputusan, dan itu membuat kita bimbang.
Namun, sejatinya kebimbangan hanya dialami oleh orang-orang yang kekurangan hikmat. Jika kita dihadapkan pada keputusan sulit karena conflict of interest, seharusnya kita tidak berdiam diri dan hanyut dalam kebimbangan.
“Orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin.” Kita seharusnya lebih berhikmat, dan firman Tuhan mengatakan, “Apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, —yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati.”
Si Pandir yang bimbang karena mendua hati hanya kehilangan makanan lezat yang tidak jadi disantapnya. Namun, jika kita tidak berhikmat dalam menentukan sikap atas pilihan hidup kita, kita akan menjalani hidup dengan hati gamang dan gelisah, dan ingatlah, “...orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya.”
Jadi, tenangkanlah diri Anda, bangunlah sikap Anda, dan cintailah hikmat Tuhan, dan yang terpenting jalanilah hidup ini dengan sepenuh hati. Jangan terus mendua hati, merapatlah pada Tuhan, sebab di bawah naungan-Nya ada terang yang membuat kita takkan bimbang. Tempatkanlah Tuhan sebagai tujuan hidup kita, sehingga sikap dan tindakan kita memiliki kiblat yang pasti benar. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 8/6/12 (diedit sedikit)
==========
Si Pandir mondar-mandir dari Selatan menuju Utara, balik ke Selatan lagi, berputar kembali ke Utara. Ia tidak bisa memutuskan. Si Pandir yang bimbang akhirnya memburu langkah ke Utara, tetapi terlambat, pesta sudah rampung. Lalu ia balik ke Selatan, mengejar waktu, sesampai di sana, hidangan pun habis, tak ada lagi yang tersisa. Si Pandir gigit jari. Ia kehabisan waktu, kedua pesta itu sudah usai.
Kisah Si Pandir saya baca dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia tahun 1970-an sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Kisah ini membekas dalam hati saya, karena sebagai anak kecil, saya juga tergugah untuk bertanya, mana yang akan kupilih? Inilah conflict of interest yang sering merancukan kehidupan kita.
Sesekali kita pernah dihadapkan pada pilihan dikotomis, antara harga mahal mutu bagus atau kapasitas gede yang murah meriah. Mau pilih pacar gagah tampan agak mata keranjang ataukah pacar rupa culun yang setianya selangit? Mau menjadi manusia idealis yang hidup pas-pasan atau si pragmatis yang kaya raya?
Nah, ada juga yang bimbang, ikut Tuhan dan harus melalui jalan terjal, atau yang penting hidup nyaman dan nikmat. Mungkin pilihan-pilihan yang kita hadapi sehari-hari tidak selalu dikotomis, tetapi tetap saja kita sering kesulitan bersikap. Kita sering merasakan adanya benturan kepentingan saat kita mengambil keputusan, dan itu membuat kita bimbang.
Namun, sejatinya kebimbangan hanya dialami oleh orang-orang yang kekurangan hikmat. Jika kita dihadapkan pada keputusan sulit karena conflict of interest, seharusnya kita tidak berdiam diri dan hanyut dalam kebimbangan.
“Orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin.” Kita seharusnya lebih berhikmat, dan firman Tuhan mengatakan, “Apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, —yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati.”
Si Pandir yang bimbang karena mendua hati hanya kehilangan makanan lezat yang tidak jadi disantapnya. Namun, jika kita tidak berhikmat dalam menentukan sikap atas pilihan hidup kita, kita akan menjalani hidup dengan hati gamang dan gelisah, dan ingatlah, “...orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya.”
Jadi, tenangkanlah diri Anda, bangunlah sikap Anda, dan cintailah hikmat Tuhan, dan yang terpenting jalanilah hidup ini dengan sepenuh hati. Jangan terus mendua hati, merapatlah pada Tuhan, sebab di bawah naungan-Nya ada terang yang membuat kita takkan bimbang. Tempatkanlah Tuhan sebagai tujuan hidup kita, sehingga sikap dan tindakan kita memiliki kiblat yang pasti benar. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 8/6/12 (diedit sedikit)
==========
10 Mei 2012
Nyata dalam Kegelapan
Gelap kerap diidentikkan dengan hal-hal negatif. Namun, tidak bagi para astronom di Boscha, Lembang. Gelap mutlak diperlukan dalam pengamatan bintang dan benda-benda angkasa yang indah. Sayangnya, pembangunan permukiman dan gedung-gedung baru membuat langit Bandung dan sekitarnya menjadi makin terang benderang saat malam. Kondisi ini membuat para peneliti khawatir, pengamatan benda-benda angkasa lewat teropong bintang tak lagi bisa dilakukan karena polusi cahaya.
Dalam perjalanan hidup bersama Tuhan, kita pun kerap menolak "gelap". Kita berharap Dia senantiasa membawa kita berjalan dalam terang. Kenyataannya, ada masa ketika Dia membawa kita berjalan melewati lembah kelam. Lihatlah Ayub. Dalam izin dan kedaulatan Tuhan, Ayub pernah mengalami keadaan yang sangat buruk. Malapetaka menimpanya bertubi-tubi, hingga Ayub berkeluh kesah. Tuhan pun menyatakan diri-Nya di tengah badai.
Tidak semua pertanyaan Ayub dijawab Tuhan. Namun, apa yang dinyatakan Tuhan itu lebih dari cukup bagi Ayub. Ia mengerti. Sama seperti kilau bintang yang tampak paling indah di kegelapan malam, malapetaka yang Ayub alami adalah sarana yang Tuhan pakai untuk menyatakan Pribadi-Nya dalam hidup Ayub yang selama ini luput dari pengamatannya.
Gelap tak selamanya buruk. Keadaan apa pun yang kita alami saat-saat ini dapat menjadi sarana Tuhan menyatakan kasih, kuasa, berkat, dan Pribadi-Nya. Lebih dari itu, Dia rindu kita makin mengenal dan mengalami-Nya secara pribadi, hingga kita dapat mengaku: "... sekarang kukenal Engkau dengan berhadapan muka."
TUHAN MENGIZINKAN KEGELAPAN HADIR DALAM HIDUP ANDA, SUPAYA TERANG-NYA TERLIHAT MAKIN NYATA.
* * *
Sumber: e-RH, 10/5/12
==========
Dalam perjalanan hidup bersama Tuhan, kita pun kerap menolak "gelap". Kita berharap Dia senantiasa membawa kita berjalan dalam terang. Kenyataannya, ada masa ketika Dia membawa kita berjalan melewati lembah kelam. Lihatlah Ayub. Dalam izin dan kedaulatan Tuhan, Ayub pernah mengalami keadaan yang sangat buruk. Malapetaka menimpanya bertubi-tubi, hingga Ayub berkeluh kesah. Tuhan pun menyatakan diri-Nya di tengah badai.
Tidak semua pertanyaan Ayub dijawab Tuhan. Namun, apa yang dinyatakan Tuhan itu lebih dari cukup bagi Ayub. Ia mengerti. Sama seperti kilau bintang yang tampak paling indah di kegelapan malam, malapetaka yang Ayub alami adalah sarana yang Tuhan pakai untuk menyatakan Pribadi-Nya dalam hidup Ayub yang selama ini luput dari pengamatannya.
Gelap tak selamanya buruk. Keadaan apa pun yang kita alami saat-saat ini dapat menjadi sarana Tuhan menyatakan kasih, kuasa, berkat, dan Pribadi-Nya. Lebih dari itu, Dia rindu kita makin mengenal dan mengalami-Nya secara pribadi, hingga kita dapat mengaku: "... sekarang kukenal Engkau dengan berhadapan muka."
TUHAN MENGIZINKAN KEGELAPAN HADIR DALAM HIDUP ANDA, SUPAYA TERANG-NYA TERLIHAT MAKIN NYATA.
* * *
Sumber: e-RH, 10/5/12
==========
Langganan:
Postingan (Atom)