31 Oktober 2012

Kebijaksanaan Tuhan

Seorang lelaki tua berbaring di bawah pohon mangga di pekarangan rumahnya pada suatu sore. Matanya menjelajah pekarangannya yang cukup luas, yang ditanami beberapa pohon buah-buahan.

Matanya sampai pada pohon labu yang sedang berbuah. Melihat pemandangan itu ia berguman kepada diri sendiri, “Hmm, betapa bodohnya Tuhan. Ia menciptakan buah labu yang besar dan berat pada batang yang kecil dan lemah sehingga tidak dapat melakukan sesuatu kecuali tergeletak di tanah.”

“Sebaliknya Ia menggantung buah-buah mangga yang kecil ini pada sebatang pohon besar, kokoh, dan kuat yang bahkan dapat memanggul berat badan manusia. Seandainya aku Tuhan, aku akan dapat melakukan sesuatu yang lebih baik daripada yang telah dilakukan-Nya ini.”


Baru saja ia selesai bicara, angin bertiup dengan kencang dan menjatuhkan beberapa buah mangga dari pohonnya. Satu buah mangga jatuh tepat mengenai kepala lelaki tua itu. Dia pun berteriak kesakitan dan mendapati benjolan di kepalanya.

Kejadian ini membuatnya bersikap bijaksana. “Ah, seandainya pohon mangga ini berbuah sebesar labu, aku pasti…” Ia tidak berani meneruskan jalan pikirannya itu. Anda tentu bisa menebak kelanjutannya.

Sambil mengelus-elus benjolan di kepalanya dia berkata, “Aku tidak akan pernah lagi mencoba merancang dunia bagi Tuhan, tetapi aku akan selalu berterima kasih kepada Tuhan karena Ia telah merancang dunia sedemikian baik.”

Barangkali kita tertawa geli membaca cerita Tony Castle ini. Barangkali kita juga segera menghakimi: “Alangkah kurang ajarnya lelaki tua itu.”

Tetapi, barangkali pula secara tidak sadar atau secara tidak langsung kita juga pernah, bahkan mungkin sering, bersikap seperti lelaki tua itu: mengeluh, menggerutu, menyalahkan Tuhan atas apa yang telah dilakukan-Nya atau karena peristiwa yang diizinkan-Nya terjadi dalam hidup kita.

“Mengapa begini, seharusnya kan begitu,” pikir kita. Tetapi, dengan berbuat demikian bukankah kita hendak mengatur Tuhan?

Kita memang tidak akan pernah bisa memahami kebijaksanaan Tuhan. Tetapi asal kita yakin bahwa segala sesuatu yang dijadikan-Nya sungguh amat baik, maka kita akan dapat berkata, “Kita tahu sekarang, bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya.” —Liana Poedjihastuti

Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 31/10/2012 (diedit sedikit)

==========

02 Oktober 2012

Saling Melengkapi

Alkisah setelah Adam dan Hawa diusir dari taman Firdaus, mereka lalu membangun rumah dan mendapatkan makanan dengan susah payah. Adam membajak ladang, Hawa menenun wol. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikaruniai 14 orang anak.

Pada suatu hari, Tuhan singgah ke rumah Adam dan Hawa, bermaksud memberkati anak-anak mereka. Tujuh orang anak ada di rumah, sementara yang tujuh lainnya masih di ladang.

(Adam dan Hawa)

Segera anak-anak itu berlutut di hadapan-Nya. Tuhan menumpangkan tangan ke atas kepala mereka satu per satu dan mengucapkan berkat.

“Engkau akan menjadi raja yang berkuasa,” kata-Nya kepada anak pertama. Kepada yang kedua ia berkata, “Engkau akan menjadi ratu.” Dan kepada anak ketiga, “Engkau akan menjadi pangeran.”

Anak keempat dan yang lainnya menerima berkat masing-masing akan menjadi ilmuwan dan pedagang.

Mendengar berkat Tuhan kepada ketujuh anak mereka, bukan main gembira hati Adam dan Hawa. Segera mereka berlari ke ladang menjemput ketujuh anak mereka yang lain.

Ketujuh anak itu juga berlutut di hadapan Tuhan. Lalu sekali lagi Tuhan mengucapkan berkat.

Kepada yang pertama Dia berkata, “Engkau akan menjadi pembantu rumah tangga.” Kepada yang kedua, “Engkau akan menjadi petani.” Kepada yang lainnya Tuhan menganugerahkan berkat menjadi tukang sepatu, pandai besi, penyamak kulit, dan tukang jahit.

Bukan main terkejut dan kecewa Adam dan Hawa mendengar berkat yang dibagikan kepada anak-anak mereka di kelompok kedua ini.

Kemudian Hawa mengeluh, “Tuhan, ini benar-benar tidak adil. Engkau membagikan berkat-Mu tidak merata. Mereka semua adalah anak-anakku, tetapi Engkau mengangkat sebagian menjadi penguasa, sementara sebagian lagi menjadi budak.”

Tuhan menjawab, “Hawa, tidakkah engkau mengerti, adalah penting bagi-Ku menyediakan pekerjaan-pekerjaan di bumi ini melalui anak-anakmu? Jika semua menjadi raja dan ratu, tidak akan ada yang bertani dan menyiapkan makanan bagi mereka.”

“Jika semua menjadi pangeran, lalu siapa yang akan menyediakan pakaian? Setiap orang dianugerahi tugas yang berbeda-beda, dan dalam pandangan-Ku, semua pekerjaan penting.”

“Seperti bagian tubuh saling bergantung dan saling melengkapi, demikian juga semua pekerjaan itu saling bergantung dan saling melengkapi.”

Hawa kemudian berkata, “Ya Tuhan, ampunilah aku. Aku lancang dan berburuk sangka terhadap-Mu.”

Cerita rakyat Jerman ini menyadarkan kita agar tidak meremehkan atau memandang rendah pekerjaan tertentu. Sebab tanpa pekerjaan itu, mungkin pekerjaan kita tidak bisa dilaksanakan secara optimal.

Kita juga semakin menyadari bahwa pekerjaan berbeda-beda agar saling memerhatikan, saling melengkapi.

Di atas semua itu yang terpenting adalah kita belajar bahwa Tuhan bisa memberkati kita melalui apa pun pekerjaan kita dan menjadikan kita berkat melalui pekerjaan kita. —Liana Poedjihastuti

Setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 2/10/2012

==========


Artikel Terbaru Blog Ini