09 April 2013

Memurnikan Keinginan

Seorang teman berkata kepada saya, "Aku ingin mencari pekerjaan sambilan." Selama ini gajinya rendah sehingga ia hanya bisa menyewa sebuah kamar kos yang kecil. Ia ingin tinggal di kontrakan yang lebih besar atau syukur-syukur punya rumah sendiri.

Jika keinginan itu terpenuhi, menurutnya, ia akan lebih bahagia. Wajar orang memiliki keinginan semacam itu. Dan, ada banyak alasan di balik keinginan-keinginan itu. Bisa berupa kepuasan pribadi, bisa juga agar orang lain merasa senang.

kontrakan

Seorang perempuan bernama Hana, istri Elkana, ingin mempunyai anak. Sebuah keinginan yang wajar bagi seorang perempuan bersuami. Keinginan itu diperkuat oleh perlakuan buruk dari madunya, Penina.

Karena itu, ia berdoa kepada Tuhan agar diberi anak laki-laki. Salah satu sisi penting dari doa Hana adalah janjinya untuk mengembalikan anak yang akan dikandungnya kelak kepada Tuhan. Dengan kata lain, keinginannya itu ia kembalikan lagi semata-mata untuk menyenangkan Tuhan.

Doa Hana dikabulkan, dan lahirlah Samuel yang kelak menjadi nabi. Nabi Samuel adalah tokoh penting dalam perkembangan bangsa Israel. Ia menjadi perantara Allah untuk menyampaikan sabda kepada umat-Nya.

Samuel kecil diserahkan kepada Tuhan, melalui Imam Eli.

Kita dapat meneladani Hana dalam hal memurnikan keinginan. Kita boleh saja memiliki keinginan ini dan itu. Namun, alangkah baiknya jika Tuhan menjadi poros keinginan kita – bukan melulu untuk kesenangan pribadi atau kelompok.

Dengan demikian, jika keinginan itu dikabulkan, hal yang kita peroleh akan sejalan dengan kehendak Tuhan dan dapat memberkati orang-orang di sekitar kita.

Tuhan bukan hanya menjadi tempat kita meminta, tetapi kiranya kehendak-Nya juga menjadi pusat keinginan kita.

* * *

Penulis: C. Krismariana Widyaningsih | e-RH, 9/4/2013

(diedit seperlunya)

==========


Artikel Terbaru Blog Ini