Konon, seorang pemuda Indian Merah mendaki sebuah gunung yang tinggi untuk menguji tingkat kedewasaannya. Sesampai di puncak gunung, tak dapat dilukiskan perasaannya. Ia merasa seakan-akan berdiri di tepi dunia. Serasa ia telah menaklukkan dunia. Ia bangga sekali.
Ketika sedang dimabuk keberhasilannya itu, tiba-tiba ia mendengar suara gemerisik di sekitar kakinya, dan ketika ia melihat ke kakinya, ia melihat seekor ular berbisa. Ia bermaksud menghindar, tetapi sebelum melakukan usaha apa pun, terdengar ular itu berkata, “Jangan takut, aku tidak akan melukaimu. Aku sangat lapar dan akan mati kedinginan di sini. Masukkan aku ke dalam bajumu dan bawalah aku ke lembah.”
“Tidak,” jawab pemuda Indian Merah itu. “Engkau sangat berbisa. Jika aku membopongmu, pastilah engkau akan memagut aku dan bisamu akan menewaskan aku.” Dengan segera si ular berkata, “Ah, mana boleh begitu, bagaimana aku bisa berbuat seperti itu kepadamu yang akan menolongku. Engkau akan kuperlakukan secara istimewa. Percayalah kepadaku, aku tidak akan melukaimu.”
Untuk beberapa saat pemuda itu menolak. Namun bujuk rayu ular itu sangat memikat, mengiba-iba, menimbulkan belas kasihan pemuda itu. Akhirnya pemuda itu memungut ular itu dan memasukkannya ke dalam bajunya. Sesampai di lembah, ia mengeluarkan ular itu dan dengan lembut membaringkannya di atas rumput. Serta merta ular itu melompat dan memagut kaki pemuda itu. Pemuda itu menjerit dan berkata, “Engkau sudah berjanji, engkau sudah berjanji....” Tetapi jawab ular, “Engkau juga sudah tahu sifatku sebelum engkau menjamah aku.” Lalu si ular menyelinap pergi.
Menurut Iron Eyes Cody, aktor Amerika, keturunan imigran dari Sisilia, yang dihormati suku Indian karena kepeduliannya kepada mereka, penutur kisah ini, sampai sekarang suku bangsa Indian Merah secara turun-termurun menceritakan kisah ini kepada kaum mudanya agar tidak mudah tergoda pada nakotika dan minuman beralkohol. Selalu diucapkan kata-kata ular berbisa itu: “Engkau sudah tahu sifatku sebelum engkau menjamah aku.”
Memang tak ada untungnya sedikit pun memberi kesempatan kepada dosa. Cerita ini memperingatkan dan mengingatkan kita untuk jangan pernah sekali-kali terpikat oleh bujuk rayu dosa. Manis saat membujuk, fatal akibatnya. Sekali-kali jangan kita tergoda mulut manis berbisa. Jangan pernah merasa kasihan terhadap setan atau dosa. Ingatlah selalu nasihat rasul Petrus, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh...” (1 Petrus 5:8-9). —Liana Poedjihastuti
* * *
Judul asli: Jangan Percaya
Sumber: KristusHidup.com, 20/6/12
==========
20 Juni 2012
08 Juni 2012
Si Pandir
Si Pandir bingung. Ia diundang ke dua undangan pesta pada hari dan jam yang sama. Pesta di Utara terkenal sangat lezat hidangannya, tetapi sayang terlalu sedikit porsi yang disajikan. Pesta di Selatan, wah, luar biasa banyak hidangan yang bisa disantap, tetapi makanan di sana tak begitu enak, hambar.
Si Pandir mondar-mandir dari Selatan menuju Utara, balik ke Selatan lagi, berputar kembali ke Utara. Ia tidak bisa memutuskan. Si Pandir yang bimbang akhirnya memburu langkah ke Utara, tetapi terlambat, pesta sudah rampung. Lalu ia balik ke Selatan, mengejar waktu, sesampai di sana, hidangan pun habis, tak ada lagi yang tersisa. Si Pandir gigit jari. Ia kehabisan waktu, kedua pesta itu sudah usai.
Kisah Si Pandir saya baca dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia tahun 1970-an sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Kisah ini membekas dalam hati saya, karena sebagai anak kecil, saya juga tergugah untuk bertanya, mana yang akan kupilih? Inilah conflict of interest yang sering merancukan kehidupan kita.
Sesekali kita pernah dihadapkan pada pilihan dikotomis, antara harga mahal mutu bagus atau kapasitas gede yang murah meriah. Mau pilih pacar gagah tampan agak mata keranjang ataukah pacar rupa culun yang setianya selangit? Mau menjadi manusia idealis yang hidup pas-pasan atau si pragmatis yang kaya raya?
Nah, ada juga yang bimbang, ikut Tuhan dan harus melalui jalan terjal, atau yang penting hidup nyaman dan nikmat. Mungkin pilihan-pilihan yang kita hadapi sehari-hari tidak selalu dikotomis, tetapi tetap saja kita sering kesulitan bersikap. Kita sering merasakan adanya benturan kepentingan saat kita mengambil keputusan, dan itu membuat kita bimbang.
Namun, sejatinya kebimbangan hanya dialami oleh orang-orang yang kekurangan hikmat. Jika kita dihadapkan pada keputusan sulit karena conflict of interest, seharusnya kita tidak berdiam diri dan hanyut dalam kebimbangan.
“Orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin.” Kita seharusnya lebih berhikmat, dan firman Tuhan mengatakan, “Apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, —yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati.”
Si Pandir yang bimbang karena mendua hati hanya kehilangan makanan lezat yang tidak jadi disantapnya. Namun, jika kita tidak berhikmat dalam menentukan sikap atas pilihan hidup kita, kita akan menjalani hidup dengan hati gamang dan gelisah, dan ingatlah, “...orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya.”
Jadi, tenangkanlah diri Anda, bangunlah sikap Anda, dan cintailah hikmat Tuhan, dan yang terpenting jalanilah hidup ini dengan sepenuh hati. Jangan terus mendua hati, merapatlah pada Tuhan, sebab di bawah naungan-Nya ada terang yang membuat kita takkan bimbang. Tempatkanlah Tuhan sebagai tujuan hidup kita, sehingga sikap dan tindakan kita memiliki kiblat yang pasti benar. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 8/6/12 (diedit sedikit)
==========
Si Pandir mondar-mandir dari Selatan menuju Utara, balik ke Selatan lagi, berputar kembali ke Utara. Ia tidak bisa memutuskan. Si Pandir yang bimbang akhirnya memburu langkah ke Utara, tetapi terlambat, pesta sudah rampung. Lalu ia balik ke Selatan, mengejar waktu, sesampai di sana, hidangan pun habis, tak ada lagi yang tersisa. Si Pandir gigit jari. Ia kehabisan waktu, kedua pesta itu sudah usai.
Kisah Si Pandir saya baca dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia tahun 1970-an sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Kisah ini membekas dalam hati saya, karena sebagai anak kecil, saya juga tergugah untuk bertanya, mana yang akan kupilih? Inilah conflict of interest yang sering merancukan kehidupan kita.
Sesekali kita pernah dihadapkan pada pilihan dikotomis, antara harga mahal mutu bagus atau kapasitas gede yang murah meriah. Mau pilih pacar gagah tampan agak mata keranjang ataukah pacar rupa culun yang setianya selangit? Mau menjadi manusia idealis yang hidup pas-pasan atau si pragmatis yang kaya raya?
Nah, ada juga yang bimbang, ikut Tuhan dan harus melalui jalan terjal, atau yang penting hidup nyaman dan nikmat. Mungkin pilihan-pilihan yang kita hadapi sehari-hari tidak selalu dikotomis, tetapi tetap saja kita sering kesulitan bersikap. Kita sering merasakan adanya benturan kepentingan saat kita mengambil keputusan, dan itu membuat kita bimbang.
Namun, sejatinya kebimbangan hanya dialami oleh orang-orang yang kekurangan hikmat. Jika kita dihadapkan pada keputusan sulit karena conflict of interest, seharusnya kita tidak berdiam diri dan hanyut dalam kebimbangan.
“Orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin.” Kita seharusnya lebih berhikmat, dan firman Tuhan mengatakan, “Apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, —yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati.”
Si Pandir yang bimbang karena mendua hati hanya kehilangan makanan lezat yang tidak jadi disantapnya. Namun, jika kita tidak berhikmat dalam menentukan sikap atas pilihan hidup kita, kita akan menjalani hidup dengan hati gamang dan gelisah, dan ingatlah, “...orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya.”
Jadi, tenangkanlah diri Anda, bangunlah sikap Anda, dan cintailah hikmat Tuhan, dan yang terpenting jalanilah hidup ini dengan sepenuh hati. Jangan terus mendua hati, merapatlah pada Tuhan, sebab di bawah naungan-Nya ada terang yang membuat kita takkan bimbang. Tempatkanlah Tuhan sebagai tujuan hidup kita, sehingga sikap dan tindakan kita memiliki kiblat yang pasti benar. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 8/6/12 (diedit sedikit)
==========
Langganan:
Postingan (Atom)