29 November 2012

Tuhan bagi Semua Orang

Saya tidak bisa melupakan hari itu. Pemimpin ibadah kami berdiri di mimbar dengan mengenakan kerudung. Seolah membaca pikiran saya, ia bertanya apakah jemaat merasa terganggu dengan penampilannya.

Ia mengingatkan kami bahwa bagi jemaat abad pertama, mengenakan kerudung adalah hal yang normal, tetapi karena kekristenan di Indonesia banyak dibawa oleh misionaris barat, tradisinya jadi berbeda.


Jemaat mula-mula pun awalnya sulit menerima orang yang berbeda dari mereka.

Rasul Petrus, pemimpin jemaat mula-mula, adalah contoh yang nyata. Tuhan harus memberikan penglihatan khusus sebanyak tiga kali untuk memantapkan Petrus melangkah ke rumah seseorang yang bernama Kornelius.

Bangsa Yahudi memang dipanggil Tuhan untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa yang jahat dan menyembah berhala. Namun, itu tidak berarti mereka juga harus menjauhi orang-orang dari bangsa mana pun yang sungguh-sungguh mencari Tuhan.

Petrus menyadari kekeliruannya yang telah memandang rendah kaum yang tidak mengikuti tradisi Yahudi.

Periksalah hati kita saat melihat orang-orang yang beribadah kepada Tuhan dengan cara yang berbeda dengan kita. Apakah kita cenderung menjauh dan menjaga jarak? Apakah kita cenderung berpikir negatif dan menutup diri untuk berbicara tentang hal-hal rohani kepada mereka?

Tuhan memanggil kita untuk menyatakan kasih-Nya kepada semua orang, termasuk mereka yang berbeda dengan kita. —ITA

* * *

Sumber: e-RH, 29/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Tuhan atas Semua Orang

==========

20 November 2012

Harus Jadi Nomor Satu?

Seorang pemuda menulis di blog-nya: "Belakangan saya merasa, hidup ini adalah sebuah persaingan. Orang-orang bersaing untuk mendapatkan kepuasan, kesuksesan, dan berbagai hal lainnya. Mulai dari tukang jualan, tukang ojek, sopir angkot, mahasiswa, karyawan, semuanya ingin mendapatkan yang lebih baik daripada orang lain. Dalam kehidupan spiritual pun orang bersaing mendapatkan amal baik sebanyak-banyaknya demi pintu surga-Nya ...."

Apakah Anda juga menganggap kehidupan ini adalah sebuah medan persaingan?

Dalam sebuah perlombaan, hadiah utamanya hanya satu, tetapi dalam kehidupan spiritual, kita semua bisa menerima hadiah yang disediakan Tuhan. Kita tidak perlu bersaing. Namun kita perlu melakukan segala sesuatu bagi Tuhan dengan intensitas yang sama seperti seorang pelari dalam lomba.


Kompetisi yang sehat dapat menjadi arena yang baik untuk mendorong orang memberikan apa yang terbaik. Namun, jiwa bersaing yang selalu ingin menang sendiri adalah sikap yang egois, lahan subur bagi iri hati, cemburu, dan perseteruan.

Kita kehilangan sukacita ketika orang lain berhasil, karena cenderung memandang mereka sebagai lawan. Pertanyaan yang seharusnya diajukan untuk memacu diri bukanlah: "Apakah kita menang?", melainkan, "Apakah kita telah melakukan yang terbaik?" —ITA

Memberikan yang terbaik adalah wujud penghormatan kita kepada Tuhan.

* * *

Sumber: e-RH, 20/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

19 November 2012

Bohong Putih

Jikalau kepada kita diajukan petanyaan, “Berbohong itu dosa atau tidak?” Tentulah kita semua akan menjawab dengan sepakat bahwa berbohong itu adalah perbuatan dosa. Sebab kita tahu, bahwa Tuhan menghendaki agar kita menghindari yang namanya kebohongan.

Ia mengajak kita semua untuk berkata benar tentang segala sesuatu. Sejak kecil kita diajar untuk bersikap jujur: “Jika ya, hendaklah kamu katakan ya. Jika tidak hendaklah kamu katakan tidak.”

Namun, jikalau pertanyaannya kemudian sedikit diubah, “Jikalau ada orang yang berbohong dengan tujuan yang baik, apakah tindakan orang itu juga bisa dikatakan sebagai perbuatan dosa?”


Mungkin tidak semua dari kita menjawab bahwa itu dosa. Ada di antara kita yang mungkin akan menjawab bahwa tindakan seperti itu bisa dikatakan tidak berdosa.

Berbohong demi kebaikan merupakan salah satu bentuk ‘white lie’ yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. White lie atau bohong putih adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada sebuah tindakan kurang baik namun tetap dilakukan dengan tujuan untuk kebaikan orang yang menerimanya.

Bagaimana sikap kita terhadap hal-hal seperti itu? Apakah kita harus menyetujui dan membiarkannya?

Kebohongan tetaplah kebohongan dan itu adalah tindakan yang tidak benar, sekalipun dilakukan demi tujuan yang baik. Kalaupun ada kebohongan yang menghasilkan kebaikan, pastilah kebaikan itu bersifat sementara, bukan selamanya.

Siapa pun yang menerima kebaikan itu, kalau tahu dibohongi pasti akan menjadi kecewa dan sakit hati. Tidak mungkin kita dapat memadukan kebaikan dengan kejahatan.

Karena itu, marilah kita belajar untuk meninggalkan kebohongan dan mewujudkan kehidupan yang jujur. Katakanlah apa yang seharusnya dikatakan, sekalipun ada risiko yang harus kita tanggung di kemudian hari. —Pdt. Yonatan Wijayanto

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 19/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: White Lie

==========

13 November 2012

Kudus

Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata "kudus"? Sebuah kota di Jawa Tengah? Seseorang yang kerjanya hanya berdoa dan membaca firman Tuhan? Rohaniwan yang tidak terlibat dengan urusan bisnis dan politik? Benda atau makanan yang sudah didoakan?

Tanpa disadari, kita mungkin punya definisi sendiri tentang apa yang kudus dan tidak.


Nabi Musa menulis kata "kudus" berkali-kali untuk menggambarkan Pribadi dan kehendak Tuhan. Dalam bahasa Ibrani: qadosh, yang berarti "terpisah atau tidak bercampur dengan yang lain".

Berbicara tentang kekudusan Tuhan berarti berbicara tentang "keberbedaan"-Nya yang menggetarkan.

Seperti mainan kertas di hadapan orang yang membuatnya, kira-kira begitulah gambaran atlet terkuat, ilmuwan terpintar, pemimpin terhebat di mata Tuhan. Dia Pencipta, yang lain ciptaan. Tak bisa dibandingkan.

Tuhan yang kudus ini menghendaki umat-Nya mencerminkan pribadi-Nya. Bangsa-bangsa lain menyembah patung dan benda-benda angkasa, umat Tuhan harus menyembah Sang Pencipta. Mereka menentukan benar dan salah menurut standar sendiri, umat Tuhan harus hidup sesuai dengan standar Tuhan.

Seberapa banyakkah kita yang mengaku sebagai umat Tuhan mencerminkan kekudusan-Nya? Jika kita hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, berbuat baik untuk dilihat orang, apa bedanya kita dengan orang yang belum percaya?

Kita dipanggil untuk hidup melampaui standar dunia yang sudah rusak oleh dosa. Mengasihi orang yang menyakiti kita. Melakukan segala sesuatu untuk dilihat Tuhan, bukan manusia. Ketika kita melihat betapa kudusnya Tuhan, seharusnya kita hidup secara berbeda. —LIT

Menjadi kudus berarti menjadi berbeda. Makin menyerupai Tuhan, bukan dunia.

* * *

Sumber: e-RH, 13/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Qadosh

==========


Artikel Terbaru Blog Ini